Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kata Fadli Zon Kehidupan Buruh Semakin Suram di Era Jokowi

Pasalnya kebijakan pemerintahan Jokowi cenderung memuluskan kepentingan investasi asing dan mengorbankan kepentingan buruh lokal.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Kata Fadli Zon Kehidupan Buruh Semakin Suram di Era Jokowi
Twitter
Fadli Zon berorasi bersama buruh Selasa (1/5/2018) 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umu‎m Gerindra Fadli Zon menilai kehidupan buruh semakmin suram di era pemerintahan Joko Widodo ( Jokowi ).

Pasalnya kebijakan pemerintahan Jokowi cenderung memuluskan kepentingan investasi asing dan mengorbankan kepentingan buruh lokal.

Baca: Harapan Susi Ferawati Untuk Zaki, Wanita yang Dipersekusi Kelompok #2019GantiPresiden Saat CFD

“Pemerintah terus merilis berbagai aturan yang menyerahkan kesempatan kerja di dalam negeri kepada buruh asing, termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu, pemerintah juga selalu menyangkal dan menutup mata atas membanjirnya buruh kasar asal Cina di Indonesia. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi suram. Celakanya, alih-alih melakukan penegakkan hukum yang tegas dan ketat, pemerintah justru kian melonggarkan aturan tentang tenaga kerja asing," ujar Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Selasa, (1/5/2018).

‎Salah satunya menurut Fadli, tiga tahun lalu, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing.

Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015.

Berita Rekomendasi

Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan itu tidak ada lagi.

“Itu bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Bulan lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.” katanya.

Perpres No. 20/2018 tersebut menurut Fadli secara gegabah telah menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing).

Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses ‘screening’ atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing.

“Dengan kata lain, semua RPTKA ke depannya otomatis disetujui, apalagi kini seluruh prosesnya dipersingkat tinggal dua hari saja. Menurut saya, kebijakan ini sangat ceroboh dan berbahaya, selain tentu saja melanggar ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.” katanya.

Masih terkait izin, sesudah menghapus IMTA, Perpres No. 20/2018 juga membuat perkecualian mengenai kewajiban membuat RPTKA.

Pada Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1.

Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.

“Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan dilabrak.” tuturnya.

Fadli mengatakan klaim bahwa Perpres No. 20/2018 ini disusun untuk melindungi tenaga profesional lokal, hanya omong kosong.

Pada Pasal 6 ayat 1, di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ketentuan tersebut menurutnya berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional lokal.

Selain itu Perpres No. 20/2018 juga mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia.

Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP.

"Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin verifikasi bisa dilakukan? Makanya jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak. Kasus semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan.” katanya.

Fadli mengatakan Kondisi tersebut sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi kesejahteraan upah minimum buruh Indonesia merupakan yang terendah keempat di ASEAN.

Indonesia hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja.‎ Begitu juga kalau dilihat dari sisi kebebasan berserikat.

Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia. Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat buruh kita cukup banyak.

Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh kita malah anjlok hingga 50 persen.

Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh kita masih berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja.

“Saya khawatir, meski pemerintah selalu mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tidaklah demikian. Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi.” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas