Mengenang Marsinah, Ini Curahan Hati Mutiari Salah Satu Terdakwa Kasus Pembunuhan Aktivis Buruh
Ibu muda yang tengah hamil tiga bulan itu tiba-tiba kerap muncul di berbagai media massa. Ia dikabarkan lenyap tanpa bekas.
Editor: Suut Amdani
Ada sisi gelap
Ketika ditemui NOVA pada Senin, 25 Oktober 1993, kondisi Mutiari sudah jauh lebih baik.
"Saya cuma ingin pulang. Sungguh, saya sama sekali tidak bersalah dan tak tahu apa-apa soal kematian Marsinah," ucapnya pelan.
Masih dengan suara tertahan, ia mengaku tak kenal Marsinah.
"Memang, saya kepala personalia. Tapi ibarat guru di sekolah, saya enggak mungkin tahu mereka satu per satu. Jumlah buruh di PT CPS kan ada ratusan."
Mutiari baru berjumpa Marsinah, saat ada ribut-ribut unjuk rasa buruh PT CPS, 4 Mei 1993 lalu.
"Saya masih ingat, dia menuntut tunjangan tetap Rp550 per hari, terlepas dari masuk atau tidaknya buruh. Besoknya dia absen. Tahu-tahu empat hari kemudian dia dikabarkan tewas."
Kendati demikian, Mutiari berjanji akan memberi keterangan sejujur-jujurnya pada polisi.
"Itu pula yang saya harapkan. Supaya dia lekas bebas," timpal Hari yang percaya istrinya tak bersalah.
"Buktinya, saya dengar sendiri dia berdoa minta agar pembunuh sebenarnya cepat tertangkap."
Meskipun keadaan Mutiari sudah jelas, LBH YPI tidak lalu lepas tangan. Dengan kuasa dari Hari, Jumat, 22 Oktober 1993, diajukanlah gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya terhadap Polda Jatim dengan nomor 06/Pid.Pra/1993/PN Surabaya.
"Masih ada sisi gelap dalam kasus ini. Surat penangkapan dan penahanan polisi memang bertanggal 30 September dan 2 Oktober. Tapi kok baru diserahkan 19 Oktober," papar Taufik Risyah Hermawan.
Keganjilan itulah yang membuat Taufik mengajukan tiga tuntutan dalam gugatannya.
"Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Mutiari harus dinyatakan batal karena tidak ada pemberitahuan sah pada keluarganya. Kedua, surat penangkapan dan penahanan dianggap tak berlaku karena tak ditunjukkan saat menangkap. Dan ketiga, penahanan Mutiari harus ditangguhkan."