Kementan Tegaskan Indonesia Tidak Akan Impor Daging Ayam dari Brazil
Indonesia tidak akan impor daging ayam dari Brazil. Hal tersebut Ia sampaikan untuk menanggapi issue adanya rencana impor daging ayam
Editor: Content Writer
Kementerian Pertanian melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tidak akan impor daging ayam dari Brazil. Hal tersebut Ia sampaikan untuk menanggapi issue adanya rencana impor daging ayam dari Brazil pasca putusan WTO.
I Ketut menjelaskan, pada tanggal tanggal 12 Pebruari 2018 telah dilakukan pertemuan antara Menteri Pertanian dengan Tim Kementerian Pertanian Brazil untuk membicarakan peluang peningkatan hubungan bilateral khususnya di sektor pertanian dan peternakan melalui kerangka kerja sama Kemitraan Strategis RI – Brazil.
Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain:
- Menteri Pertanian RI menyetujui masuknya daging sapi Brazil ke Indonesia dan Tim Kementerian Pertanian Brazil menyetujui untuk tidak memasukan daging ayam dan produknya ke Indonesia setelah memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan. Hal ini disebabkan karena Indonesia sudah over supply daging ayam bahkan sudah melakukan ekspor ke Jepang, Timor Leste, Papua New Guinea dan sedang dalam penjajakan ekspor ke negara-negara Asia lainnya dan Timur Tengah;
- Menjaga hubungan baik kedua negara melalui kerjasama peningkatan SDM Peternakan dan Kesehatan Hewan;
- Tim Kementerian Pertanian Brazil juga akan mendorong pelaku usaha di Brazil untuk melakukan investasi breeding farm dan usaha peternakan sapi di Indonesia.
Terkait dengan adanya putusan WTO atas gugatan dari Brazil, I Ketut Diarmita mengatakan bahwa kebijakan dan regulasi impor produk hewan harus disesuaikan dengan ketentuan perjanjian WTO.
Saat ini Pemerintah sedang menyelesaikan Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (RPMP) tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian No. 34/2016 yang menyesuaikan dengan rekomendasi Panel WTO.
Sebagaimana diketahui bahwa Brazil telah mengajukan gugatan ke Badan Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO) atas keberatannya terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap melakukan pelarangan dan pembatasan impor daging ayam dan produk ayam dari Brazil sejak tahun 2009.
Brazil mengajukan pembentukan Panel ke Dispute Settlement Body (DSB) WTO dengan nomor kasus DS484: Indonesia – Measures Concerning the Importation of Chicken Meat and Chicken Products pada tanggal 16 Oktober 2014.
Setelah melalui serangkaian sidang DSB, Panel DS484 mengeluarkan Putusan Final (Final Report) WTO pada tanggal 10 Mei 2017 yang memutuskan 7 ketentuan (measures), diantaranya:
Pertama, terdapat 3 (tiga) ketentuan yang dimenangkan Indonesia karena Brazil dianggap gagal membuktikan ketentuan tersebut bertentangan dengan perjanjian WTO, yaitu:
- Diskriminasi persyaratan pelabelan halal produk impor (halal labelling requirement) dimana Brazil gagal membuktikan bahwa halal labelling requirement bertentangan dengan Artikel III:4 GATT 1994;
- Persyaratan pengangkutan langsung (direct transportation requirement) dimana Brazil gagal membuktikan bahwa direct transportation equirements bertentangan dengan Artikel XI GATT 1994 dan Artikel 4.2 AoA;
- Pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan produk ayam (general prohibiton) dimana Brazil gagal membuktikan secara prima facie karena tidak dapat menunjukkan eksistensi pelanggaran kebijakan tidak tertulis (unwritten measure)
Kedua, terdapat 4 ketentuan yang dimenangkan oleh Brazil karena dianggap bertentangan dengan Perjanjian WTO, yaitu:
- Daftar produk yang dapat diimpor (positif list) dimana tidak konsisten dg Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (d) GATT 1994;
- Persyaratan penggunaan produk impor (itended use) dimana tidak konsisten dengan Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (b) dan (d) GATT 1994;
- Prosedur perijinan impor (import licensing procedures), dengan melakukan pembatasan periode jendela permohonan dan masa berlaku persetujuan impor (application windows and validity periods) dan menetapkan persyaratan pencantuman tetap data jenis, jumlah produk dan pelabuhan masuk serta asal negara (fix license terms), dimana tidak konsisten dengan Artikel XI GATT 1994 & Artikel XX (d) GATT 1994;
- 4). Penundaan proses persetujuan sertifikat kesehatan veteriner (undue delay), dimana melanggar Article 8 dan Annex C (1) (a) SPS agreement.
Menanggapi final report ini, Indonesia telah melakukan serangkaian pertemuan baik internal Kementerian Pertanian maupun antar kementerian yang difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan.
Indonesia memutuskan untuk tidak melakukan banding dengan pertimbangan beberapa ketentuan yang dianggap bertentangan dengan perjanjian WTO tersebut telah dilakukan perubahan dan penyederhanaan sebagaimana dalam Permentan No. 34/2016.
Meskipun akan dilakukan penyesuaian kebijakan, namun I Ketut Diarmita menegaskan bahwa Indonesia tetap mempersyaratkan ketentuan teknis terkait dengan persyaratan sanitary (kesehatan dan keamanan pangan) dan kehalalan terhadap produk yang akan masuk ke Indonesia.
Terkait dengan persyaratan kehalalan, I Ketut menekankan saat ini Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Penyembelihan Halal pada Unggas, yang mempersyaratkan pemotongan ayam harus dilakukan secara manual satu per satu oleh juru sembelih (tukang potong).
“Dengan adanya standar ini maka semua daging unggas yang akan diedarkan di Indonesia baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor wajib dilakukan penyembelihan secara manual satu per satu,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Syamsul Ma'arif mengatakan, meskipun ada persyaratan teknis sanitary dan kehalalan, namun dengan adanya keputusan WTO ini maka apabila negara pengekspor mampu memenuhi persyaratan teknis tersebut Pemerintah Indonesia tidak ada lagi alasan untuk melarang impor daging ayam dan produknya.
“Kondisi ini tentu harus disikapi secara bijak oleh seluruh pelaku usaha perunggasan nasional dengan melakukan konsolidasi dalam upaya meningkatkan daya saing produk daging ayam nasional,” ujar Syamsul. “Pelaku usaha perunggasan nasional harus dapat meningkatkan efisiensi produksi, sehingga mampu bersaing di era perdagangan bebas ini,” tandasnya.
Selain itu, Syamsul Ma'arif juga menambahkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing produk di dalam negeri masyarakat dihimbau untuk mencintai dan membeli daging ayam produksi di dalam negeri yang sudah terjamin kehalalannya dan jaminan kesehatannya karena Indonesia melarang pennggunaan hormon pertumbuhan.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.