IPW: 57 Orang Terduga Jaringan Teroris Masuki Ibukota Pasca Kerusuhan Mako Brimob
"Mereka jalan darat dan sempat mampir di Lampung sebelum menyeberang ke Banten," ujar Neta
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengatakan pihaknya menemukan adanya 57 orang yang diduga sebagai jaringan teroris dari enam daerah memasuki DKI Jakarta pasca kerusuhan di Mako Brimob.
Ia menilai jajaran kepolisian perlu mencermati hal ini. Terlebih dari data yang diperoleh IPW, jaringan teroris ini sudah berada di ibukota sejak Jumat (11/5) pukul 20.00 WIB.
"Dari Kelompok Tegal ada tiga orang. Dari Kelompok Pekanbaru pimpinan Boy ada 10 orang. Mereka jalan darat dan sempat mampir di Lampung sebelum menyeberang ke Banten," ujar Neta, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (12/5/2018).
Kemudian, kelompok Karawang pimpinan Abu Sayyaf ada enam orang dengan mengendarai sepeda motor. Kelompok Indramayu pimpinan Sutomo ada tujuh orang.
Ia mengatakan kelompok Cirebon terbagi dua. Pertama, pimpinan Heru Komarudin ada tujuh orang dan datang dengan menyewa mobil rental dan langsung membuka posko di Depok. Kelompok kedua, Kelompok Suki tidak terlacak karena menghilang.
"Kelompok Tasikmalaya juga terbagi dua. Pimpinan Rido ada 10 orang dan tiba di Jakarta dengan tiga mobil. Sedangkan pimpinan Ade Cawe ada lima orang dan datang dengan tiga sepeda motor," kata dia.
"Namun kelompok Ade Cawe ini sudah berhasil diciduk polisi. Satu tewas ditembak polisi dan tiga ditangkap, termasuk Ade Cawe. Sedangkan satu lagi berhasil kabur," imbuh dia.
Atas dasar penemuan dari IPW ini, Neta berharap polisi melakukan pagar betis agar kelompok teroris ini bisa segera diciduk, sebelum l beraksi menebar terornya.
Ia menilai bagaimana pun Polri perlu mengevaluasi dua kasus yang terjadi berturut-turut di Mako Brimob.
Sejumlah penyebab utama terjadinya dua tragedi di Mako Brimob pun dibeberkannya.
"Buruknya profesionalisme, kacaunya kordinasi di internal polri, rendahnya kepekaan dan kepedulian aparatur kepolisian, tidak taatnya aparatur kepolisian pada SOP serta tidak adanya pengawasan atasan terhadap kinerja bawahan," kata dia.
Selain itu, jelasnya, pernyataan Kapolri yang kaget melihat isi rutan over kapasitas adalah bukti nyata buruknya koordinasi dan kualitas pengawasan atasan terhadap bawahan di internal Polri.
Dalam menghadapi makin sadisnya aksi terorisme, menurutnya jajaran kepolisian perlu introspeksi dan evaluasi diri agar tidak terus menerus menjadi bulan bulanan teroris.
"Terutama pasca kerusuhan di Rutan Brimob dimana para teroris serasa mendapat angin, Polri perlu meningkat profesionalitasnya agar gerakan terorisme bisa segera dilumpuhkan," tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, Tribun masih berupaya mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada Polri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.