Komisi III DPR Pertanyakan Sidang Edward Soeryadjaya
Nasir Djamil, menegaskan, semua pihak harus menghormati putusan preperadilan, baik itu Kejaksaan Agung maupun Pengadilan Tipikor.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR mempertanyakan berlanjutnya persidangan Edward Seky Soeryadjaya dalam perkara dugaan korupsi dana pensiun PT Pertamina.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil, menegaskan, semua pihak harus menghormati putusan preperadilan, baik itu Kejaksaan Agung maupun Pengadilan Tipikor.
Berbicara di Jakarta, Senin (21/5/2018), Nasir meminta Pengadilan Tipikor menghentikan perkara Edward Soeryadjaya dan tidak lagi menggelar sidang.
Pernyataan Nasir dilontarkan setelah PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat melanjutkan sidang korupsi dana pensiun PT Pertamina kendati Edward Soeryadjaya, yang dinyatakan sebagai terdakwa, sudah memenangkan sidang praperadilan beberapa pekan sebelumnya.
Rabu (16/5/2018) sidang PN Tipikor untuk kali pertama membacakan dakwaan kepada Edward.
Padahal, pada 23 April, sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan memutuskan status tersangka Edward dalam kasus ini gugur demi hukum. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan Kejaksaan Agung terhadap Edward dalam kasus ini juga dinyatakan batal.
"Ini aneh. Ada apa? Komisi III DPR harus mempertanyakan persoalan ini. Harus dicari tahu kenapa sidang tetap digelar? Kalau sudah digugurkan praperadilan, mestinya kejaksaan mengulang lagi kasus ini dari awal," ujar Nasir.
Nasir juga mengaku akan memanggil Kejaksaan Agung dan mempertanyakan proses hukum ini. Menurut Nasir, Kejaksaan Agung terkesan memaksakan kehendak.
Dia juga menegaskan, Kejaksaan Agung dan Pengadilan Tipikor cenderung tidak memberi penghormatan dan pengakuan atas putusan praperadilan.
Persoalan ini bermula ketika Kejagung menetapkan bos Ortus Holding Limited, Edward Soeryadjaya, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina senilai Rp1,4 triliun di PT Sugih Energy (SUGI).
Namun Edward pun melawan dengan mengajukan upaya hukum praperadilan terkait penetapan status tersangkanya, dan majelis hakim pun mengabulkan gugatannya.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva juga menegaskan, putusan praperadilan menjadi putusan yang menggugurkan seluruh proses penyidikan.
"Ketika peradilan menegaskan penetapan tersangka dan seterusnya itu tidak sah. Akarnya dirobohkan, maka semuanya tidak punya dasar," katanya.
Bahkan, pakar hukum, Margarito Kamis, menuturkan, kasus Edward adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat hukum.
"Ini ngaco. Hukum digunakan untuk memukul orang," ujarnya. Margarito menyarankan Edward melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal kewajiban mematuhi putusan praperadilan.
Sementara Hamdan Zoelva menjelaskan, bisa juga Edward melaporkan pejabat pengadilan ke kepolisian.
"Gunakan pasal 421 KUHP. Penjelasannya, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan," jelas Hamdan.