KPAI: Pelaku Bom Bunuh Diri Miliki Pola Pengasuhan Anak yang Salah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai ada pola pengasuhan anak yang salah pada para pelaku bom bunuh diri di Surabaya, beberapa waktu lalu
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai ada pola pengasuhan anak yang salah pada para pelaku bom bunuh diri di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Diketahui, pelaku mengajak keluarganya, yaitu istri dan anak-anaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya.
Ada pula keluarga yang melancarkan aksinya di Polrestabes Surabaya, namun sang anak berhasil selamat dari percobaan bunuh diri itu.
Baca: Butuh Pelapis Riko-Novri, Persija Rekrut Striker Naturalisasi
"Mendoktrin anak-anak dengan paham membenci yang berbeda adalah bentuk pengasuhan yang salah," ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan, di Ashley Hotel, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa (22/5/2018).
Dengan doktrin untuk membenci yang berbeda itu, akan berdampak fatal bagi tumbuhnya radikalisme.
Retno mengatakan intoleransi terbukti menumbuhkan radikalisme, dan radikalisme adalah lahan subur bagi terorisme.
Selain itu, kesalahan lain dari para orang tua tersebut adalah memandang anak sebagai hak milik, semacam barang yang mereka miliki. Sehingga mereka bisa melakukan apapun terhadap anak.
"Padahal anak adalah individu merdeka yang memiliki harkat, martabat dan HAM yang harus dilindungi," ungkapnya.
Ia mengatakan melibatkan anak dalam aksi teror, melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Pasal 76C : Setiap orang di larang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Jika pelaku kekerasan orang terdekat anak, maka hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman maksimal," kata Retno.
Lebih lanjut, ia menekankan para orangtua perlu memiliki kepekaan ketika anak-anaknya menunjukkan perubahan sikap ke arah yang intoleran, serta mengajarkan untuk mampu menyaring informasi yang diterimanya.
"Anak harus dididik berani mengkritisi jika ada guru yang mengajarkan atau mengkampanyekan pandangan politik dan ideologi pribadi/kelompoknya di kelas, minimal berani melaporkan ke orangtuanya. Orangtua yang kemudian melaporkan ke wali kelas/kepala sekolah," kata Retno.
"Orang tua harus berperan aktif dalam mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan gawai dan selama berinteraksi dengan internet. Keingintahuan yang besar seorang anak (siswa) terhadap ideologi apapun harus didampingi secara intelektual, emosional dan spiritual oleh orang tua dan guru. Jangan permisif terhadap perilaku anak (siswa)," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.