Moeldoko Jelaskan Pemerintah Restui Adanya Pasukan Koopssusgab
Pasukan itu akan membantu Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam upaya pemberantasan terorisme secara cepat dan efektif.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah memastikan, negara hadir untuk menjamin keamanan, kenyamanan, dan kebebasan warganya beraktifitas dalam keseharian tanpa adanya rasa takut dari teror.
Bahkan, semua pemangku kepentingan, 36 kementerian dan lembaga negara sudah sepakat upaya itu akan dilakukan secara komprehensif.
Penegasan sikap itu mengemuka dalam seminar pengesahan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme di Jakarta, Selasa (22/5/2018).
''Negara harus hadir untuk menjamin warganya beraktifitas dengan aman, nyaman, dan bebas," kata Kepala Kantor Staf Presiden, Jenderal (Purn.) Moeldoko.
Sebagai wujud konkret atas ancaman nyata terorisme yang terjadi beberapa hari yang lalu, Moeldoko menekankan pemerintah merestui keberadaan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang tediri atas pasukan elit anti teror dari 3 matra TNI.
Pasukan itu akan membantu Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam upaya pemberantasan terorisme secara cepat dan efektif.
Di luar upaya represif itu, Moeldoko melanjutkan, upaya deradikalisasi juga tetap dilakukan.
Pasalnya peristiwa teror di Surabaya kemarin menunjukkan bahwa masih ada alumunus Suriah atau punya simpati terhadap kelompok teroris yang ingin menyebar ketakutan di masyarakat.
Urgensi kerja sama antara polisi dan TNI juga diakui oleh Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen (pol.) Setyo Wasisto.
Pada kesempatan yang sama, Setyo mengungkapkan pemberantasan teroris tidak bisa dilakukan oleh Polisi sendiri.
Baca: Aksi Cepat Tanggap Turut Salurkan Bantuan kepada Keluarga Korban Bom di Surabaya
"Polri berharap ada kerjasama antara pemangku kepentingan. TNI, BIN, BNPT, dan Pemerintah daerah setempat,” kata Setyo.
Setyo juga berharap revisi Undang-Undang terorisme bisa segera disahkan untuk memudahkan langkah pihaknya mengantisipasi aksi teror dan memberantas jaringannya.
''Kami sebenarnya sudah tahu orang-orangnya, dari sabang sampai merauke. Jelas keliatan. Tapi kami tidak bisa melakukan apapun terhadap mereka. Ada keterbatasan Polri karena undang-undang,” kata Setyo.
Kesigapan pemerintah menghadapi tantangan teroris, menurut pengamat terorisme Ridlwan Habib, sangat dibutuhkan saat ini.
Berkaca pada kejadian di Surabaya, terjadi perubahan stereotipe pelaku teror di Indonesia.
Dari yang awalnya kerap dicitrakan sebagai sosok tertutup, menjadi orang seperti keluarta Dita Oeprianto yang terbuka dan bergaul dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, Ridlwan pun mendukung bila ada kekuatan baru seperti Koopssusgab yang bisa diturunkan secara cepat dan efektif manakala diperlukan.
''Koopsusgap itu sebagai stand by corps tapi kalau masih teroris dalam skala kecil masih ranahnya Polisi,'' kata Ridlwan.
Mengingat akan adanya berbagai event besar berskala internasional seperti Asian Games dan pertemuan IMF-World Bank di Bali dalam waktu dekat, Ridlwan pun berharap, pemerintah semakin waspada dan tidak mengurangi kesiagaan.
Terlepas dari segala ketegasan dalam pemberantasan terorisme, pegiat Hak Asasi Manusia, Al Araf berharap negara tidak melupakan aspek HAM.
"Logikanya sederhana, tidak akan pernah berhasil sebuah negara menangani terorisme secara represif tanpa pertimbangan HAM. Jika 1 orang salah tangkap, akan ada 10 orang balas dendam. Mulai dari anak, istri, atau keluarganya," kata Al Araf.
Sejauh ini, dari pengamatannya terhadap perkembangan pembahasan RUU Pemberantasan Terorisme, aspek HAM sudah cukup dipertimbangkan.
Misalnya penahanan tersangka dibatasi sampai 30 hari saja. Lebih dari itu, polisi butuh ketetapan pengadilan.
Pun penyadapan tidak bisa dilakukan secara semena-mena.
"Dalam jangka pendek, penegakan hukum dan polisi yang dikedepankan. Tapi bila eskalasinya tinggi, TNI mutlak dibutuhkan," kata Al Araf.