Belajar Membangun Negeri Lewat Buku "Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti"
Trias berharap agar setelah membaca buku karyanya tersebut masyarakat dapat menjadi lebih terbuka dan mau belajar dari negara lain.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang wartawan senior Harian Kompas yang banyak menulis artikel politik dan masalah internasional khususnya Timur Tengah, Trias Kuncahyono, baru menerbitkan sebuah buku terbarunya berjudul Turki: Revolusi Tak Pernah Henti".
Buku yang ditulis dalam jangka waktu dua sampai tiga bulan itu kemudian didiskusikan oleh Komunitas Penulis Buku Kompas pada Rabu (23/5/2018) di gedung Menara Kompas.
Baca: Rapat 5 Jam, DPR dan Pemerintah Belum Sepakat Soal Definisi Terorisme
Dalam diskusi yang dihadiri oleh sekitar 80 peserta tersebut Trias mengungkapkan bahwa buku tersebut ditujukan sebagai bahan cerminan bangsa Indonesia terhadap negara Turki dalam bidang politik, pemerintahan, militer, serta kehidupan sosial.
Hal tersebut diungkapkan Trias dalam acara Buka Puasa Bersama Komunitas Penulis PBK dan Diskusi Buku "Turki: Revolusi Tak Pernah Henti" di Menara Kompas Ruang Cincin Api pada Rabu (23/5/2018).
"Saya ingin ngajak, menjadi penting untuk bercermin dengan negeri lain. Untuk membangun negeri ini kan harus lihat negeri lain. Entah itu kehancuran atau keberhasilan. Kalo saya bikin tentang Suriah tentu tentang kehancuran kan, jangan dicontoh jadinya. Yang berhasil gitu juga, ini yang terjadi," kata Trias usai acara.
Menurut Trias yang harus digarisbawahi dalam upaya belajar dari Turki tersebut adalah upaya membangun negara khususnya dalam hal identitas nasional, keunggulan masa lalu, peran agama dan pemerintahan, serta peran militer.
"Yang satu tadi tentu identitas nasional, harus kuat kita. Warisan sejarah. Keunggulan masa lalu harus kita lihat, kalo kita punya itu, yang positif kita manfaatkan. Kemudian peran agama, pemerintahan. Perlu dipilah-pilah yang mana urusannya. Kemudian peran militer. Intinya lebih kepada bagaimana membangun negara," kata Trias.
Menurut sang penulis, isi buku yang mulai digagas sejak kudeta Turki pada tahun 2016 silam tersebut mengantarkan kepada pembaca perjalanan sejarah Turki sejak akhir abad ke-19 yaitu akhir pemerintahan Ottoman sampai saat ini.
Dalam buku tersebut penulis khususnya menyorot dimensi politik dan kehidupan sosial beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya dalam rentang waktu yang begitu panjang itu.
Buku tersebut memaparkan tarik menarik kepentingan baik dalam negeri maupun luar negeri Turki yang terus-menerus terjadi.
Trias memilih Turki karena melihat Turki sebagai negara yang memiliki peran sangat besar tidak hanya di Asia, namun juga Timur Tengah dan bahkan sampai ke Eropa.
"Saya rasa negara Turki punya peran yang sangat besar. Dari Asia, Timur Tengah, sampe Eropa ada. Dan itu adalah kebesaran masa lalu yang sangat menarik," kata Trias.
Tidak hanya itu, penulis juga mengatakan bahwa buku tersebut juga menyorot peran militer sebagai peletak dasar dan penjaga Kemalisme (Kemal Attaturk) serta nasib-nasib partai politik dan sistem pemerintahan di dalamnya.
Trias berharap agar setelah membaca buku karyanya tersebut masyarakat dapat menjadi lebih terbuka dan mau belajar dari negara lain.
"Harapan saya orang jadi lebih terbuka, open minded. Karena kalo orang lain bagus kenapa kita tidak bisa. Kalo orang lain hancur jangan sampe seperti itu. Jadi saya selalu bikin buku dengan harapan seperti itu. Jadi membuka pikiran, mau belajar dengan negeri lain, entah itu keberhasilan atau kehancuran," kata Trias.
Selain penulis, hadir pula cendekiawan muslim Profesor Komarudin Hidayat dan Intelektual muda Zuhairi Misrawi sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.
Komar menilai bahwa buku tersebut merupakan buku tentang Turki yang terbaik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia.
Dalam diskusi tersebut Komar juga mengatakan bahwa Turki patut dicontoh mengingat negara tersebut banyak sekali menghadilkan teknokrat dan administrator yang hebat dalam konteks sejarah Islam.
"Dalam sejarah Islam Turki melahirkan teknokrat dan administrator bukan pemikir seperti Iran," kata Komar.
Ia berharap agar kedepannya ada tulisan berikutnya soal perbandingan antara Turki dan Indonesia setelah Trias menulis buku tersebut.
"Buku ini adalah buku tentang Turki yang terbaik. Saya harap ada tulisan berikutnya, komparasi antara Turki dan Indonesia. Jangan-jangan kita bisa belajar dari Turki, jangan belajar dari Syiria melulu," kata Komar.
Sementara itu Zuhairi mengungkapkan adanya peran penting Kementerian Agama Turki dalam mengubah pandangan adminsitrasi kenegaraan dari kekhalifahan otoriter menjadi sekularisme lewat program-program di masjid-masjid, lembaga pendidikan, dan aspek lain dalam negara tersebut.
"Perlu diperhatikan adalah peran Kementerian Agama Turki yang berhasil mengubah pandangan masyarakat Turki dari Kekhalifahan menjadi sekular," kata pria yang akrab disapa Gus Mis tersebut.