Mata Sang Istri Berkaca-kaca saat Hakim Vonis Fredrich Yunadi 7 Tahun Penjara
Sisca yang duduk di barisan kursi belakang ruang sidang terlihat menatap kosong saat majelis hakim bergantian membacakan surat putusan untuk Fredrich.
Editor: Dewi Agustina
ISTRI Fredrich Yunadi, Sisca Yunadi dan putrinya, Alexandra Yunadi kembali datang ke pengadilan saat Fredrich menjalani sidang vonisnya, Kamis (28/6/2018). Keduanya terlihat duduk di barisan berbeda.
Sisca yang duduk di barisan kursi belakang ruang sidang terlihat menatap kosong saat majelis hakim bergantian membacakan surat putusan untuk Fredrich.
Namun, matanya berkaca-kaca begitu ketua majelis hakim mengatakan orang yang dicintainya itu diganjar dengan hukuman tujuh tahun penjara.
Sementara itu, putri Fredrich yang semula terlihat sibuk memainkan telepon genggamnya menghampiri ibundanya begitu hakim mengetuk palu vonis untuk ayahnya.
Sisca dengan mata berkaca-kaca tampak berusaha tersenyum saat ditemui seusai sidang.
Ia mengaku akan terus mendukung dan menemani Fredrich kendati telah divonis terbukti bersalah.
Perempuan paruh baya itu pun berharap suaminya mendapat keadilan di proses banding mendatang.
"Kalau masih bisa kita lakukan banding, ya banding. Mudah-mudahan dapet keadilan, bebas," kata Sisca dengan mata yang berkaca-kaca.
Baca: Selisih Suara Tipis, Pendukung Dua Pasangan Calon di Pilkada Bolmut Konvoi
Menurut Sisca, vonis yang diberikan majelis hakim kepada suaminya adalah tidak adil karena ia menganggap bahwa kasus yang menjerat suaminya tidak pada tempatnya.
Satu-satunya keadilan bagi Sisca adalah jika Fredrich diputus bebas.
"Kalau saya berharap dan adilnya pasti bebas ya. Keluar dari Pak Yunadi sebagai suami ya, seandainya Pak Yunadi pun sebagai orang lain yang saya nggak kenal. Ya seharusnya bebas. Karena sebetulnya kan kasus ini nggak pada tempatnya," kata Sisca.
Bagi Sisca, saat ini Fredrich sangat membutuhkan dukungan darinya dan pihak keluarga dalam menjalani hari-hari berat di dalam tahanan.
Oleh karena itu, ia tidak pernah absen untuk membesuk ke tahanan dan menghadiri persidangan kasus suaminya.
Tidak Sopan
Majelis hakim yang diketuai Hakim Saifuddin Zuhri dalam putusannya menyatakan Fredrich Yunadi selaku terdakwa terbukti menghalangi penyidikan kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto yang dilakukan KPK.
Majelis hakim memvonisnya dengan hukuman tujuh tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta subsider kurungan 5 bulan.
Hakim menyatakan, Fredrich selaku pengacara berperan membuat merencanakan agar Setya Novanto dirawat di rumah sakit, sehingga tidak bisa diperiksa dalam kasus proyek e-KTP oleh penyidik KPK pada 15 November 2017.
Baca: Basarnas Perpanjang Masa Pencarian Korban Hilang hingga 30 Juni
Fredrich terbukti lebih dulu memesan kamar inap hingga menghubungi dokter Bimanesh Sutarjo sebelum Novanto mengalami kecelakaan dan dirawat di RS Medika Permata Hijau.
Novanto sendiri mengalami kecelakaan mobil bersama ajudannya, AKP Reza, dan Hilman Mattauch saat hendak menuju kantor MetroTV di Permata Hijau, Jakarta, pada 16 November 2017.
"Fakta hukum di atas, terdakwa sengaja menyuruh Novanto tidak memenuhi panggilan KPK dan harus ada izin presiden. Terdakwa juga meminta surat keterangan medis Novanto kepada dokter Michael namun ditolak karena belum diperiksa. Unsur mencegah-merintangi penyidikan telah terpenuhi," kata anggota majelis hakim.
Selain itu, hakim mengatakan Fredrich meminta Bimanesh mengubah diagnosis hipertensi menjadi kecelakaan. Padahal, Novanto sebelumnya berada di Gedung DPR dan kawasan Bogor.
"Terdakwa meminta dokter jaga IGD mengubah diagnosis kecelakaan Novanto, namun ditolak dokter jaga IGD karena Novanto belum pernah diperiksa. Perbuatan ini melanggar hukum agar Novanto tidak diperiksa penyidik KPK atas kasus proyek e-KTP. Unsur mencegah dan merintangi penyidik terpenuhi," ucap hakim.
Majelis hakim menyatakan apa yang dilakukan oleh Fredrich Yunadi bersama dokter Bimanesh Sutardjo terbukti melanggar Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Putusan majelis hakim itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK sebelumnya, yakni 12 tahun penjara dan membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Ada empat hal yang memberatkan sehingga majelis hakim menghukum Fredrich dengan tujuh tahun penjara.
Yakni, tidak mengakui perbuatannya secara terus terang, tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, memunculkan sikap dan mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan selama persidangan, hingga cenderung mencari-cari kesalahan pihak lain saat persidangan.
Hal yang meringankan vonis untuk Fredrich semata karena pengacara tersebut tidak pernah dihukum sebelumnya dan karena punya tanggungan keluarga.
Bagi KPK sendiri, vonis tujuh tahun penjara untuk Fredrich selaku terdakwa yang menghalangi penyidikan kasus korupsi ini adalah masih jauh dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun bui.
Oleh karena itu, pihak jaksa KPK dalam persidangan menyatakan pikir-pikir dalam tujuh hari untuk mengajukan banding atau tidak atas vonis Fredrich ini.
"Kalau kita lihat, dibandingkan tuntutan KPK itu, masih kurang dari dua per tiga," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Atas upaya banding yang lebih dulu akan dilakukan oleh Fredrich, KPK siap menghadapinya.
Hakim Singgung Bakpao
Sepanjang persidangan kasus Fredrich di Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa dari KPK dan Fredrich selaku terdakwa kerap berdebat hingga menghujat lantaran soal 'bakpao.
Dan akhirnya majelis hakim pun memasukkan fakta pernyataan Fredrich tentang luka benjolan di kepala Novanto sebesar bakpao tersebut dalam amar putusannya.
"Setya Novanto diobservasi ahli saraf dokter Nadia, Novanto mengalami kecelakaan ringan. Analisis dokter dapat dilanjutkan proses hukum, terdakwa justru menyebut ada kecelakaan dan justru menyatakan ada luka kecelakaan sebesar bakpao," ucap anggota majelis hakim, Titi Sansiwi saat membacakan amar putusan.
Istilah luka benjolan sebesar bakpao di kepala Novanto akibat kecelakaan kali pertama diungkapkan oleh Fredrich saat Novanto saat berada di RS Medika Pertama Hijau pada 16 November 2017 lalu.
Padahal, dari sejumlah saksi perawat dan sekuriti yang kali pertama menerima pasien Setya Novanto menyatakan tidak melihat ada luka benjolan sebesar bakpao di kepala Novanto pada saat itu. (Tribun Network/git/coz)