Soal Gugatan Hanura, Kubu Oso Nilai Putusan Majelis Hakim PTUN Janggal
Partai Hanura kubu Oesman Sapta Odang menilai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta soal gugatan kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding jangga
Penulis: Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Hanura kubu Oesman Sapta Odang menilai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta soal gugatan kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding janggal.
"Kami menilai ada beberapa kejanggalan dalam Putusan PTUN Jakarta tersebut," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum DPPm Hanura Petrus Selestinus saat konferensi pers di Thamrin, Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Majelis Hakim memutuskan perkara Gugatan Perselisihan Partai Politik No 24/G/2018/PTUN-JKT, Tertanggal 26 Juni 2018. Daryatmo dan Sarifuddin Sudding sebagai penggugat melawan menteri Hukum dan HAM sebagai tergugat dan DPP Partai Hanura sebagai Tergugat Intervensi II.
Baca: Iriawan Pastikan Tak Ada Kecurangan Dalam Proses PPDB
Di amar putusan disebutkan pembatalan surat keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2018 tanggal 17 Januari 2018 tentang Restrukturisasi, Reposisi, dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat Masa Bhakti 2015-2020.
Selain itu, majelis hakim mewajibkan tergugat mencabut surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2018 tanggal 17 Januari 2018 tentang Restrukturisasi, Reposisi, dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat Masa Bhakti 2015-2020.
Menurut Petrus, di dalam pertimbangan hukum, majelis hakim mengatakan pihaknya tidak berhak menentukan keabsahan kepengurusan partai politik.
Sedangkan menurut majelis, keabsahan kepengurusan parpol ditentukan mahkamah partai dan/atau peradilan umum sebagaimana diatur UU Parpol.
"Namun, anehnya, di amar putusan majelis hakim PTUN, justru mengabulkan gugatan penggugat. Itu artinya, majelis hakim PTUN ikut menentukan keabsahan kepengurusan parpol yang sebenarnya menjadi wewenang mahkamah partai politik menurut UU Parpol," kata dia.
Selain itu, kejanggalan lain, kata dia, Majelis Hakim PTUN menempatkan Keputusan DPP Partai Hanura melakukan Restrukturisasi, Revitalisasi, dan Reposisi terhadap posisi Sarifuddin Sudding sebagai Sekjen, sebagai produk dari Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik (FTPKPP) Hanura.
Padahal, menurut dia, restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi hanya perubahan pengurus pada tataran Sekjen yang menurut AD, ART, dan PO cukup dilakukan dengan Rapat Pleno atau oleh Ketua Umum berdasarkan mandat Rapimnas.
"SK Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi bukan produk mengubah hal-hal pokok sebagaimana disyaratkan Pasal 2 ayat (4) UU Parpol, seperti mengubah AD-ART, mengganti Ketua Umun, mengganti asas Partai dan lainya yang harus dilakukan melalui Munas/Munaslub sebagai FTPKPP," ujarnya.
Dia menjelaskan, merestrukturisasi, revitalisasi, dan reposisi, Ketua Umum Oesman Sapta Odang tidak mengubah kepengurusan, tetapi hanya mengubah personalia pengurus secara orang perorang di partai. Perubahan itu hanya sifatnya insidentil, bukan perubahan mendasar yang harus diputuskan lewat forum tertinggi partai atau munas.
"Dan kalau ada penolakan dari sekurang-kurangnya 2/3 peserta Munas/Munaslub barulah menkumham terkendala untuk memberikan pengesahan dan menunggu penyelesaian di Mahkamah Partai," tuturnya.
Baca: James Rodriguez Menangis Terharu Usai Melihat Kolombia Tersingkir
Sementara itu, surat keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2018 tanggal 17 Januari 2018 sebagai objek gugatan bersifat deklaratif absolut.
Sebab, perubahan pengurus partai politik di tingkat pusat dilakukan pada jabatan sekjen yang menurut AD/ART Partai Hanura hanya cukup dengan rapat pleno DPP atau di Hanura cukup dilakukan ketua umum berdasarkan mandat Rapimnas, sehingga cukup didaftarkan dan ditetapkan dengan surat keputusan menteri.
Apabila ada perubahan, kata dia, tidak memerlukan verifikasi sebagaimana dalam pengesahan kepengurusan hasil FTPKPP karena menyangkut apakah ada penolakan dari 2/3 peserta FTPKPP, Akta Notaris dan lain-lain.
"Majelis hakim tidak bisa membedakan antara pergantian pengurus berdasarkan keputusan parpol yang bersumber dari FTPKPP dan mana yang merupakan Keputusan Parpol bersumber dari Keputusan Parpol yang bersifat insidentil melalui rapat pleno atau mandat ketua umum," ungkap dia.
Namun PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Daryatmo-Sudding, Petrus menilai kepengurusan di bawah pimpinan Oesman Sapta Odang dan Herry Lontung Siregar tetap sah.
Pasalnya, Menkumham dan DPP Hanura telah mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut, sehingga konsekuensinya menkum HAM RI dan KPU RI harus terikat kepada status belum adanya kekuatan hukum tetap dari putusan PTUN Jakarta dengan segala akibat hukumnya.(*)