Fenomena Berebut Nomor Urut dan Soal Keuntungan Elektoral dalam Pemilu 2019
Fenomena merebut nomor urut masih terus berlanjut oleh calon anggota legislatif baik di tingkat DPR hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fenomena merebut nomor urut masih terus berlanjut oleh calon anggota legislatif baik di tingkat DPR hingga DPRD Kabupaten/Kota.
Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Boyke Novrizon mengungkapkan hal itu wajar dilakukan oleh para caleg.
Baca: Cegah Penumpukan Saat Pengerjaan Teknis Tol Cikampek, Ini Jalur Alternatif yang Bisa Digunakan
Menurutnya, bukan hanya anggota legislatif, partai politik yang sempat mengambil nomor urut di KPU beberapa waktu lalu, juga menginginkan nomor urut yang mudah diingat oleh masyarakat.
Baginya, merupakan hak caleg untuk mendapatkan nomor urut sesuai dengan keinginannya selama partai belum menentukan.
"Ya tidak masalah. Mereka mau diingat dan mendapat nomor urut cantik. Itu biasa saja selama partai belum menentukan. Tidak hanya mereka, partai politik peserta pemilu saat mengambil nomor undian juga pasti berharap nomor cantik," jelasnya saat dihubungi, Jakarta, Senin (16/7/2018)
Terpenting, baginya, perebutan nomor urut tidak dilakukan secara curang dengan membayar pimpinan partai atau hal lain yang merugikan partai.
"Kami bisa jamin, tidak ada mahar untuk itu. Semua berjalan melalui usaha caleg melakukan lobi dan meyakinkan partai bahwa dirinya pantas berada di nomor tersebut," ujarnya.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai NasDem, Effendi Choirie atau akrab disapa Gus Choi, mengatakan perebutan nomor urut masih terjadi di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hanya, kata dia, perebutan tidak masif.
"Hanya paling beberapa saja. Tidak semua berebutan nomor urut, tidak banyak kok. Sedikit caleg saja," ucapnya di Kantor KPU.
Gus Choi menjelaskan nomor urut pada pemilihan kali ini, tidak begitu berpengaruh bagi suara mereka. Tidak secara serta merta, mereka yang memiliki nomor urut kecil, akan masuk ke DPRD atau DPR RI.
"Kita sudah memberikan penjelasan, tidak ada pengaruh nomor urut berapapun, karena suara nanti akan dimasukkan ke mereka yang dicoblos paling banyak dalam satu partai."
Hal yang sama juga diucapkan oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Sumardi mengatakan pihaknya sudah menutup kemungkinan adanya lobi politik untuk mendapatkan nomor cantik bagi para caleg.
Selama pendaftaran, PSI sudah menetapkan untuk menggunakan undian nomor urut dan tidak akan bisa diganti.
"Ketum partai pun kalau dapat nomor 8 misalnya, ya sudah. Tidak bisa diubah jadi nomor satu. Kami sudah sepakat dari awal pakai undian," tegasnya.
Baginya, saat ini yang terpenting adalah pendekatan caleg kepada masyarakat untuk mengetahui program kerja serta visi misi saat menjadi anggota legislatif terpilih.
"Hanya partai-partai korup dan caleg yang malas mendekatkan diri saja yang masih berebutan nomor urut," tandasnya.
Keuntungan Elektoral
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menguraikan, dengan sistem perhitungan yang dipakai pada pemilu 2019, yakni, Saint Lague Murni, serta sistem proporsional terbuka, maka nomor urut tidak lagi penting.
Apabila seorang caleg mendapatkan nomor urut 1, tetapi tidak mendapat suara lebih banyak dari caleg di partai yang sama, maka suara pemilih yang hanya mencoblos gambar partai, akan beralih ke caleg yang mendapat suara paling banyak.
"Kalau dilihat, memang nomor urut tidak lagi penting," urainya.
Hanya saja, keadaan saat ini pemilih umum, masih beranggapan bahwa caleg di nomor urut kecil merupakan caleg terbaik pilihan partai. Sehingga, caleg yang mendapat nomor urut kecil, akan mendapatkan keuntungan elektoral.
"Saya pikir masih akan sama dengan pemilu 2014, dimana orang-orang akan melihat caleg jagoan partai berada di nomor urut kecil. Jadi, ada keuntungan elektoral bagi caleg, meski sebenarnya, bukan yang terbaik," lanjutnya.
Belum sampai disitu, perhelatan pemilu 2019, akan lebih banyak membicarakan capres dan cawapres yang bertarung dibanding dengan pertarungan caleg yang jumlahnya ratusan dalam satu daerah pemilhan (Dapil).
Pemilih, dinilai, tidak akan mengecek satu persatu rekam jejak maupun visi dan misi caleg, meski akses informasi sudah mudah didapatkan.
"Awam saja, semua akan konsentrasi ke pemilihan capres dan cawapres. Caleg-caleg ini tidak akan terlalu dihiraukan. Kecuali, kalau mereka sudah memiliki basis massa yang jelas dan konstituen yang terus dibina. Kalau tidak, ya pemilih akan lebih baik memilih nomor urut yang kecil," kata Titi.(ryo)