Hari Anak Nasional, Momentum Perbaikan Sistem Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak
Darmayanti Lubis mengajak dan menghimbau kepada semua elemen anak bangsa, terutama orang tua, masyarakat, guru untuk mendidik generasi emas
Editor: Content Writer
Wakil Ketua DPD RI, Prof. Dr. Hj. Ir. Darmayanti Lubis mengajak dan menghimbau kepada semua elemen anak bangsa, terutama orang tua, masyarakat, guru untuk mendidik dan menciptakan generasi emas berkaitan dengan Hari Anak Nasional (HAN 23/7).
Dikatakannya, saat ini Indonesia mengalami dinamika perlindungan anak yang cukup serius di tengah kondisi dunia yang mengalami perubahan akibat perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat.
“Catatan data kasus pelanggaran Hak Anak yang dirilis oleh KPAI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP&PA) dapat diartikan bahwa Sistem Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak belum terwujud sesuai yang diharapkan,” terang Darmayanti Lubis.
Dalam rangka perayaan HAN 2018 diharapkan menjadi momentum perbaikan sistem perlindungan anak secara menyeluruh dan komprehensif untuk menjawab tantangan dalam pemenuhan hak dan memberikan perlindungan pada anak yang merupakan tanggungjawab bersama.
Program prioritas pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang terkait anak diharapkan menjadi salahsatu strategi dalam pemenuhan hak anak sekaligus menurunkan angka pelanggaran dan kekerasan,” ungkap Darmayanti.
Berbagai permasalahan tentang anak di seluruh pelosok Indonesia merupakan PR panjang yang harus dipecahkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Seperti diketahui, berbagai tindak kekerasan fisik, psikis, seksual, permasalahan narkoba, perdagangan anak, tenaga kerja anak, pornografi, anak berkebutuhan khusus, anak berhadapan dengan hukum (ABH) serta anak yang di lingkungan konflik sosial dan kondisi darurat bencana akhir-akhir ini begitu mengemuka.
Oleh karena itu, menjadi isu dan tanggungjawab lintas bidang dan sektor yang harus segera diselesaikan dengan melibatkan berbagai elemen dan berbagai pelaku pembangunan dari tingkat pusat sampai daerah, dengan mengikutsertakan kalangan akademisi, lembaga masyarakat, dunia usaha dan media massa.
Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, terutama peran orangtua. Oleh karena itu, peranan keluarga menjadi sangat penting dalam membentuk pribadi dan jati diri seorang anak.
Garda pertama dalam perlindungan anak adalah kewajiban orangtua baik perlindungan secara sosial, psikososial, spiritual maupun perlindungan secara intelektual. Peran awal dalam menentukan individu dan pembentukan kematangan kepribadian sorang anak dimulai dari keluarga.
“Namun faktanya banyak orangtua yang tidak memberikan pemenuhan hak anak sekaligus yang menjadi pelaku tindak kekerasan. Hal ini sangat miris sekali,” tutur Darmayanti.
Menurutnya, terdapat hal yang sangat penting dalam isu perlindungan anak yakni pada saat anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku.
Sangat memprihatinkan kondisi kekerasan pada anak yang memperlihatkan bahwa jumlah kekerasan yang pelakunya adalah orang terdekat dan pelaku tindak kekerasan adalah usia anak yang mengalami peningkatan.
Perlu juga diperhatikan, tantangan yang terberat saat ini dialami adalah dalam pencegahan kekerasan di masyarakat, yaitu kerangka hukum masih gagal melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, hukum diam di tempat, penegakannya masih tebang pilih dan banyak oknum penegak hukum yang menjadi pelaku termasuk orangtua yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.
Itu semua merupakan beberapa akar penyebab kekerasan terhadap anak, selain sumber daya dan dana yang dialokasikan pada pemenuhan dan perlindungan anak sangat tidak memadai.
Termasuk faktor lain seperti sikap sosial dan praktik budaya memaafkan kekerasan, kurangnya pengetahuan, data, dan pemahaman serta kemiskinan yang selalu menjadi kambing hitam.
Anak sebagai generasi harapan masa depan bangsa, dan Indonesia diprediksi pada tahun 2020 sampai dengan 2030 akan menghadapi bonus demografi dimana jumlah usia produktif mencapai 70%.
“Oleh karena itu, negara harus hadir dalam mewujudkan pemenuhan dan perlindungan anak dengan program lintas kementerian dan sektor lain dimulai dari melahirkan kebijakan-kebijakan terkait perlindungan anak yang benar-benar responsif terhadap pemenuhan hak anak serta bersifat implementatif,” tutup Darmayanti Lubis.(*)