Pengamat Nilai Prabowo Sebaiknya Mempertimbangkan Secara Matang Rekomendasi Ijtima Ulama
Untuk dapat mengimbangi elektabilitas Jokowi yang saat ini masih unggul, kubu koalisi Gerindra harus bisa membaca arah sentiment publik
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseracrh and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai sentimen publik dan tren politik negara-negara berpenduduk mayoritas muslin di dunia saat ini, -termasuk Indonesia- adalah menguatnya ghirah (semangat) gelombang populisme Islam.
Di Indonesia, kata dia, populisme Islam telah merambah dinamika politik, serta mengkristal menjadi kekuatan politik baru yang dahsyat.
"Populisme Islam telah menjelma menjadi salah satu kekuatan politik, kini juga ikut memainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka menggalang kekuatan, menemui momentumnya dalam pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu," kata Pangi, dilansir Tribun Jateng, Sabtu (4/8).
Dia memberi analisis, poros koalisi Gerindra - Demokrat - PKS - PAN, harus memperhitungkan hal ini, jika ingin meraup suara elektoral signifikan dan memenangkan pertarunan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Ijtima Ulama GNPF 212 tak bisa dipisahkan sebagai bagian dari aksi nyata gerakan ini.
"Rekomendasi yang dikeluarkan oleh gerakan ini menjadi pertimbangan penting, menjadikan sebagai daya tawar dan lobi (bergaining position) politik di kubu Prabowo yang semakin dinamis," ujar pengamat, yang juga dosen politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Karena itu, sambung Pangi, untuk dapat mengimbangi elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini masih unggul, kubu koalisi Gerindra harus bisa membaca arah sentiment publik.
Menurutnya, mempertimbangkan sentiment publik dan gelombang populisme Islam saat ini, Prabowo harus mempertimbangkan matang-matang rekomendasi Ijtima Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF).
Diketahui, paket yang rekomendasi dikeluarkan dari Ijtima’ ulama GNPF yakni Salim Segaf Al-Jufri dan Ustad Abdul Somad (UAS).
Salim Segaf Al-Jufri adalah Ketua Majelis Syura PKS, mantan menteri Sosial era SBY dan juga pernah menjadi duta besar RI untuk Arab Saudi dan Oman.
Di satu sisi, UAS telah secara tegas menolak untuk dijadikan calon wakil presiden (Cawapres).
"Karena itu, untuk bisa mengimbangi Jokowi, Prabowo sudah seharusnya menggandeng Salim Segaf Al-Jufri sebagai Cawapresnya," ucap Pangi.
Tak boleh dilupakan, sambung Pangi, Salim Segaf merupakan keturunan Ulama besar Palu, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan nama 'Guru Tua' pendiri yayasan Al-Khairaat.
Salim juga masih punya garis hubungan sangat dekat dengan Habaib dan juga dekat dengan kiyai NU, dan tokoh Muhammadiyah.
"Salim cenderung lebih moderat dan mampu berkomunikasi dengan semua kelompok dan kekuatan Islam mana pun. Sehingga, sangat bisa diterima pemilih dari kalangan Islam," urainya.
Oleh karena penerimaan (akseptabel) terhadap sosok ini cukup luas, sehingga upaya menyatukan kekuatan Islam yang menjadi agenda politik di kalangan umat Islam akan menemukan momentum yang tepat.
Di sisi lain, Salim Segaf Al-Jufri juga sudah berpengalaman dalam urusan pemerintahan, punya jam terbang dengan berbagai posisi strategis. Ia pernah menjabat sebagai menteri sosial dan duta besar.
"Tentu saja menjadi modal yang sangat berharga untuk menjadi wakil presiden jika nanti beliau berjodoh dipasangkan dengan sosok Prabowo," katanya.
Sesama dari Kalangan Militer, Prabowo Kurang Cocok Dipasangkan dengan AHY
Pangi mengatakan, jika ingin memenangkan pilpres 2019 dengan dukungan kuat dari kalangan Islam, maka Salim Segaf harus didahulukan ketimbang figur lain. Misalnya saja, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Bagaimana pun juga nama AHY masih sulit direpresentasikan untuk mewakili suara ulama," ucapnya.
Lebih jauh, menurutnya, pasangan Prabowo - AHY kombinasi yang kurang menjual dan kurang tepat, karena sama-sama militer, sama-sama nasionalis.
"Ceruk segmen Prabowo - AHY juga sama irisannya. Kita bisa bayangkan dan mudah memprediksi (forecast) simulasi pertarungan peta lama misalnya Prabowo - AHY berhadapan dengan Jokowi - Mahfud MD. Sebaliknya akan keras benturan pertarungannya, dan sulit diprediksi apabila Prabowo - Salim Segaf head to head dengan Jokowi - Ma'ruf Amin," tuturnya.
Dituturkan lebih lanjut, untuk dapat memenangkan Pilpres 2019, setidaknya kubu Prabowo harus mempertimbangkan tiga hal. Pertama, nama pasangan Capres-Cawapres dari kubu Prabowo harus mempertimbangkan kombinasi ideal (equilibrium), Nasionalis - Religius untuk dapat menjangkau episentrum pemilih yang lebih luas.
Kedua, sentimen publik sebagai bentuk Populisme Islam harus direspon dengan mengakomodasi rekomendasi dari Ijtima’ Ulama.
Sehingga gerakan ini semakin solid dan mengarahkan dukungannya kepada kandidat yang mewakili kepentingan gerakan ini.
Ketiga, upaya yang serius dari poros Jokowi untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kapada para Ulama, Santri, Cendikiawan Muslim dan Ormas Islam.
Saat ini, Jokowi ingin mengambil posisi tidak berseberangan dengan kekuatan Islam, sehingga perlahan tapi pasti Jokowi sudah berhasil memperluas basis dungannya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmentasi nasionalis.
"Jika ini tidak dibaca dengan cermat oleh kubu Prabowo maka peluang Jokowi untuk kembali memenangkan pilpres semakin terbuka lebar," kata Pangi. (Yayan IR/Tribun Jateng)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Pangi Syarwi: Tangkap Gelombang Populisme Islam, Prabowo Harus Gandeng Salim Segaf