Eks Sekjen Kemendari Bersaksi untuk Keponakan Setya Novanto
"Kepada lima saksi dipersilahkan untuk menduduki kursi persidangan," ucap Jaksa Eva Yustisiana di Pengadilan Tipikor, Jakarta
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/8/2018) kembali menggelar sidang lanjutan perkara korupsi proyek pengadaan KTP-el dengan terdakwa keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung.
Di sidang kali ini, Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menghadirkan tujuh saksi. Namun, dua saksi tidak hadir sehingga hanya lima saksi yang akan bersaksi.
Baca: Bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Mantan Wapres Boediono Banyak Menjawab Lupa
Kelima saksi tersebut, yakni mantan Ketua Komisi II DPR RI, Chairuman Harahap; mantan Sekjen Kemendagri, Diah Anggraini; pengusaha Ikhsan Muda Harahap; anggota tim Fatmawati, Mudji Rachmat Kurniawan; serta mantan Country Manager HP Enterprise Services, Charles Sutanto.
"Kepada lima saksi dipersilahkan untuk menduduki kursi persidangan," ucap Jaksa Eva Yustisiana di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Hingga siang ini, sidang masih berlangsung. Jaksa KPK secara bergantian bertanya pada saksi KTP-el atas kasus megakorupsi tersebut.
Sementara, dua saksi yang tidak hadir yakni, mantan Direktur PT Java Trade Utama, Johanes Richard Tanjaya dan pengusaha Jimmy Iskandar Tedjasusila.
Sebelumnya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, didakwa turut serta melakukan korupsi proyek KTP-el yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun.
Dia didakwa bersama-sama dengan pengusaha Made Oka Masagung.
Keduanya berperan menjadi perantara dalam pembagian fee proyek pengadaan barang atau jasa KTP-el untuk sejumlah pihak.
Baca: jawab Kritik Warga soal Kontainer Asian Games di Trotoar, Sandiaga: Karena Akses yang Terbatas
Irvanto dan Made Oka juga turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek itu.
Atas perbuatannya, Anang dan Made Oka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.