TM Mangunsong dan Tiga Ketua Peradi Desak Bawaslu dan KPK Usut Tudingan Andi Arief
"Soal mahar, entah dalam bentuk penaklukan atau kampanye, sudah diakui Sandi Uno," tulis Andi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Pusat TM Mangunsong, Ketua DPC Peradi Jakarta Barat Berry Sidabutar, Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan Halomoan Sianturi dan Ketua DPC Peradi Jakarta Utara Gerits de Fretes mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan terkait dugaan pemberian mahar politik calon wakil presiden (cawapres) Sandiaga Uno kepada Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masing-masing sebesar Rp 500 miliar.
“Bawaslu terkait dugaan tindak pidana pemilu dalam kapasitas Sandi sebagai cawapres, sedangkan KPK terkait dugaan pemberian suap dalam kapasitas Sandi sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu,” kata TM Mangunsong dalam rilis bersama tiga Ketua DPC Peradi lainnya, Minggu (12/8/2018).
Tuduhan Sandiaga memberikan mahar politik ke PAN dan PKS dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief agar Wagub DKI itu dipilih Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai cawapresnya dalam Pilpres 2019.
Pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi akhirnya mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat (10/8/2018), dan akan berhadapan dengan pasangan capres-cawapres petahana Presiden Joko Widdo dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin yang beberapa saat sebelumnya juga mendaftar ke KPU.
Baca: Penjelasan Sandiaga Uno Soal Tudingan Mahar Cawapres, Andi Arief: PAN-PKS Lihat Muka di Cermin
Menurut Mangunsong, Pasal 228 Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang bakal capres/cawapres memberikan uang atau imbalan kepada parpol, agar dapat menjadi capres/cawapres.
“Bila nanti ada putusan hukum yang berkekuatan tetap membuktikan bahwa seseorang menyerahkan imbalan kepada parpol untuk menjadi capres/cawapres, pencalonannya dapat dibatalkan. Selain itu, parpol yang menerima dana tersebut tidak dapat mencalonkan capres/cawapres pada pemilu berikutnya,” jelasnya.
Mangunsong lalu mengutip Pasal 228 ayat (1) yang berbunyi, “Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.”
Pun ayat (2) yang berbunyi, “Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya”; dan ayat (3) yang berbunyi,“Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, serta ayat (4) yang berbunyi, “Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.”
Adapun KPK, kata Berry Sidabutar, harus turun tangan karena dugaan mahar politik itu bisa dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi yang termasuk tindak pidana korupsi.
“KPK harus turun tangan karena Sandiaga adalah penyelenggara negara. Apakah dana Rp 1 triliun itu diambil dari dana milik pribadi yang sudah dilaporkan dalam LHKPN ke KPK saat dilantik sebagai wagub atau diperoleh dari sumber lain. Jika dana Rp 1 triliun itu bersumber dari pihak ketiga, maka Sandiaga patut diduga sudah menerima gratifikasi karena terkait dengan jabatan wagub. Jika dana itu berasal dari Sandi pribadi, juga termasuk suap, dan pengurus parpol penerima suap juga bisa dipidana,” paparnya.
Halomoan Sianturi lalu menguraikan ketentuan Pasal 5 juncto Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), di mana baik terduga pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana hingga 20 tahun.
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, menurut Halomoan, disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; Menteri; Gubernur; Hakim; Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi, tak ada alasan bagi Bawaslu dan KPK untuk tidak segera mengambil tindakan. Bawaslu terkait dugaan tindak pidana pemilu, KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi,” tandas Gerits de Fretes.
Sementara itu, usai mengunjungi mantan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir di Senayan, Jakarta Selatan, Sabtu (11/8/2018) malam, Sandiaga mengakui memberikan uang mahar Rp 1 triliun kepada PAN dan PKS.
Ia pun menjelaskan uang tersebut sebenarnya akan digunakan sebagai dana kampanye. Sandi pun berniat mendatangi KPK untuk berkonsultasi terkait rencana penggunaan dana yang diduga sebagai mahar tersebut.
Andi Arief dalam cuitan di akun Twitter-nya, Minggu (12/8/2018), menganggap Sandiaga Uno telah mengakui pernyataannya soal mahar Rp 500 miliar, masing-masing ke PAN dan PKS terkait posisi cawapres Prabowo Subianto.
"Soal mahar, entah dalam bentuk penaklukan atau kampanye, sudah diakui Sandi Uno," tulis Andi.