Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rambun Tjajo: Kembalikan Marwah Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dalam menyelesaian kasus-kasus terkait dengan umat beragama, sehingga instrumen peradilan pidana dan sanksi pidana merupakan langkah yang paling akhir

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Rambun Tjajo: Kembalikan Marwah Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Tribun Medan
Terdakwa penistaan azan di Tanjungbalai dua tahun silam yakni Meiliana kembali jalani sidang di ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Publik kembali dikejutkan dengan vonis 18 bulan penjara kepada Meiliana, seorang Ibu beretnis Tiongoa dan beragama Budha, yang didakwa melakukan penodaan agama hanya karena memohon untuk menurunkan kerasnya suara Azan.

Putusan ini, menurut Ketua Dewan Pengarah Nasional Tim Pembela Jokowi (TPJ), Rambun Tjajo, menjadi perhatian publik dan mengusik rasa keadilan. Menurutnya sebagaimana dalam kasus-kasus dengan tuduhan penodaan agama lainnya, seringkali diputus dalam situasi adanya tekanan massa.

“Kasus ini menujukkan adanya dugaan ketidakhati-hatian dan kurang tepatnya penerapan pasal penodaan agama oleh penegak hukum, khususnya para hakim di PN Medan yang menjatuhkan vonis tersebut,” Kata Rambun Tjajo, dalam siaran persnya, Jumat (24/8/2018).

Dijelaskan, dalam Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), atau Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, merupakan Pasal yang masih kontroversial.

Dalam uji materi UU No. 1/PNPS/1965, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengingatkan bahwa Undang-undang ini tidak boleh diterapkan secara sewenang-wenang dan diskriminatif. MK juga mendorong adanya revisi untuk memastikan UU tersebut tidak bertentangan dengan pluralisme Indonesia dan menjadi regulasi yang diskriminatif.

Serta perlunya penyempurnaan Undang-undang ini dari segi bentuk pengaturan, rumusan, kaidah-kaidah hukumnya, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.

“Oleh karenanya, para penegak hukum haruslah bersikap hati-hati dan secara benar menafsirkan dan menerapkan ketentuan tentang penodaan agama,” Rambun menjelaskan. 

BERITA REKOMENDASI

Pentingnya sikap kehati-hatian para penegak hukum tersebut, menurut Rambun, tidak terlepas dari konstruksi Pasal 156a huruf a KUHP, yang secara ketat merumuskan perbuatan yang dianggap menodai atau menghina agama.

Pasal tersebut menyatakan: “… barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia…”

Pasal ini, menurutnya, juga telah memberikan penjelasan, “Tindak pidana yang dimaksud di sini, ialah semata-mata (pada pokoknya) ditunjukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina”, serta “Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis atau lisan yang dilakukan secara obyektif, zakeliyk dan ilmiah mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal itu.”

Unsur-unsur “dengan sengaja”, “dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan” dan “bersifat penodaan agama” ia menegaskan haruslah ditafsirkan dan diterapkan secara benar. Dengan tidak melepaskan dari penjelasan-penjelasan penting terkait dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Sebagai contohnya, unsur “dengan sengaja” harus ditafsirkan sebagai unsur kesengajaan dalam bentuk kesengajaan sebagai tujuan (opzet als oogmerk). Konsekuensinya, menurutnya, hakim perlu secara obyektif menentukan apakah ada atau tidak perbuatan atau pernyatanya terdakwa sesuai dengan tujuan yang dipersyaratkan, yakni untuk menodai atau menghina dengan menyimpulkan dari, diantaranya, perbuatan pelaku dan keseluruhan konteks yang melingkupinya.


“Fakta hukum yang hanya mendasarkan pada kecurigaan atau klaim publik atas niat terdakwa atau adanya perasaan dinodai atas pernyataan yang merupakan reaksi subyektif, bukanlah bukti-bukti yang mencukupi untuk menyatakan unsur “dengan sengaja” telah terpenuhi,” katanya.

Merujuk pada kronologis kasus ini, kata Rambun, sulit untuk mempercayai adanya maksud atau kesengajaan dimuka umum bahwa Meiliana mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang ditujukan untuk melakukan penghinaan atau penodaan agama. Terlebih, dari pihak Meilina telah melakukan upaya permohonan maaf kepada pihak yang merasa tersinggung.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas