Rambun Tjajo: Kembalikan Marwah Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Dalam menyelesaian kasus-kasus terkait dengan umat beragama, sehingga instrumen peradilan pidana dan sanksi pidana merupakan langkah yang paling akhir
Editor: Rachmat Hidayat
Selain itu, pernyataan Meiliana dapat ditafsirkan sebagai ekspresi yang sah (legitimate expression) yang dilindungi oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Aspek lain yang penting diperhatikan dalam kasus-kasus penodaan agama, sebagaimana adanya informasi bahwa kasus ini juga disertai dengan adanya tekanan massa, adalah pentingnya penerapan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan memastikan tegaknya kemandirian peradilan (independent of judiciary).
“Dalam konteks kasus yang sedang berjalan ini, para hakim harus mempertimbangkan semua fakta hukum yang ada, tidak diskriminatif dalam memperlakukan alat bukti, dan menghindari segala bentuk tekanan yang akan mengancam kemandirian pengadilan dalam memutus perkara yang diadili,” paparnya.
Menurut Rambun, prinsip fair trial dan kemandirian peradilan tersebut sejalan dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia adalah Negara Hukum” dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yakni “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
”Selain itu, UU Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. “Artinya, pelaksanaan kekuasaan kehakiman haruslah adil dan tidak diskiminatif,” ujarnya.
Oleh karenanya, dengan mempertimbangkan segala informasi yang terkait dengan kasus yang dialami Meilana ini, TPJ memandang bahwa kasus ini perlu diajukan untuk diperiksa di pengadilan yang lebih tinggi, yakni pengadilan tingkat banding. Para hakim dalam pengadilan banding harus melakukan penafsiran dan penerapan pasal penodaan untuk secara cermat dan benar sesuai dengan segala fakta-fakta yang ada.
Selain itu, tanpa melakukan intervensi terhadap kemandirian hakim, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu melakukan pemantauan atas berjalannya proses pengadilan selanjutnya dalam kasus ini. Langkah-langkah tersebut diperlukan guna mengembalikan marwah penegakan hukum yang berkeadilan.
Selanjutnya, saranya, untuk menghindari penerapan Pasal 156a KUHP yang sewenang-wenang dan diskriminatif dimasa depan, sebagaimana pandangan MK, TPJ mendorong adanya revisi UU No. 1/PNPS/1965 yang lebih baik sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktiknya.
Penegak hukum dan masyarakat juga diharapkan untuk mendukung upaya-upaya untuk memajukan toleransi antar umat beragama dan mengedepankan dialog serta menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Dalam menyelesaian kasus-kasus terkait dengan umat beragama, sehingga instrumen peradilan pidana dan sanksi pidana merupakan langkah yang paling akhir (ultimum remedium).