Spirit RUU Pertanahan Integrasikan Sektor SDA
Salah satu spirit dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan adalah bagaimana mengintergasikan pengaturan tanah menghadapi sektor lainnya.
Editor: Content Writer
Anggota Komisi II DPR RI Sirmadji mengatakan, salah satu spirit dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan adalah bagaimana mengintergasikan pengaturan tanah menghadapi sektor lainnya dibidang Sumber Daya Alam (SDA).
Ia mengatakan, salah satu isu yang mengemuka dalam pembahasan adalah terkait bank tanah yang perlu dibentuk untuk menghapus para mafia tanah.
“RUU ini telah dibahas hampir 2 periode, namun belum juga rampung karena sektor yang ada di dalam RUU ini. Maka dari itu, kita di Komisi II terus meminta masukan dari berbagai pihak, agar RUU ini bisa rampung dan menyelesaikan berbagai konflik pertanahan,” jelas politisi F-PDI Perjuangan itu usai pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI dengan beberapa pakar di Universitas Padjajaran (Unpad), Jatinangor, Jawa Barat, Jumat (07/9/2019).
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Sareh Wiyono mengatakan, ada 6 pokok pembahasan yang mengemuka dalam pertemuan dengan Rektor Unpad.
Diantaranya, konflik tanah yang masih mengemuka, penetapan batas minum dan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah tetap, bank tanah, dan sebagainya.
“Untuk itu, perlunya pembentukan Pengadilan Pertanahan, karena banyaknya putusan pengadilan tentang masalah pertanahan bukan menyelesaikan masalah malah memicu konflik,” jelas politisi Partai Gerindra itu.
Di tempat yang sama, pakar hukum Unpad Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H..M. H., mengatakan RUU Pertanahan tidak dimaksud untuk mengganti Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria, tapi melengkapi bidang SDA lainnya, meskipun berkait dengan aspek tanah.
Ida melanjutkan, RUU ini mengatur P4 yaitu, penetapan batas minum dan maksimum, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Diatur dalam kerangka Reformasi Agraria (RA), dengan sasaran terwujudnya keadilan agrarian.
Ia melanjutkan, kaidah hukumnya bersandar pada asas-asas penataan ruang wilayah yang terpadu, serasi, berkelanjutan, berdayaguna, berhasil guna, serta penataguna tanah yang berasaskan lestari, optimal, serasi, seimbang; baik dalam konteks ruang di atas tanah maupun di bawah tanah.
Kaidah hukumnya tidak dapat terlepas dari asas fungsi sosial dan fungsi ekologis.
Batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah tetap harus diatur dengan mempertimbangkan kelayakan luas minimal penguasaan dan pemilikan tanah menjadi sumber hidup dan kehidupan pemiliknya (terutama petani) terkait ketahanan.
“Penekanan RA dalam RUU Pertanahan lebih kepada bagaimana menjadi RA sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan agraria, melalui restruksasi P4T dan penyelesaian sengketa dan/atau konflik agrarian; karena hakekat RA bukan legalisasi aset dan redistribusi tanah semata,” jelasnya.
Sementara, mengenai pembentukan bank tanah, menurutnya, bank tanah harus menjadi solusi pengadaan tanah nirkonflik, menghilangkan mafia tanah dan mendayagunakan tanah terlantar.
“Bank tanah menggunakan instrumen konsolidasi tanah (horizontal dan vertical) karena berprinsip ‘membangun tanpa menggusur’ (land readjustment). Konsep pengaturan bank tanah tidak cukup mengacu pada praktek di Belanda dan Amerika Serikat saja, tapi perlu juga mengacu pada konsel hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA),” tutupnya.(*)