Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sidang Lanjutan SKL BLBI, Kesaksian Glenn Yusuf Membuktikan Tidak Ada Misrepresentasi

Jaksa Penuntut Umum pada pada sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Senin (3/9/2018) lalu telah menuntut SAT 15 tahun penjara dan denda Rp 1 milyar.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Sidang Lanjutan SKL BLBI, Kesaksian Glenn Yusuf Membuktikan Tidak Ada Misrepresentasi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI Syafrudin Arsyad Temenggung mendengarkan keterangan saksi ahli Sigit Pramono saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/8/2018). Sigit Pramono yang diminta pendapat berdasarkan keahliannya mengapresiasi peran BPPN di bawah kepemimpinan Syafrudin Temenggung dalam memulihkan dan menyehatkan kembali dunia perbankan nasional melalui restrukturisasi dan penyelesaian BLBI sehingga kini menjadi salah satu perbankan tersehat di TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara senior Yusril Ihza Mahendra mengemukakan bahwa inti dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Sjafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai melakukan perbuatan melawan hukum dengan dalih adanya misrepresentasi oleh Sjamsul Nursalim (SN) tidak terbukti karena peristiwa itu sendiri tidak pernah terjadi.

Jaksa Penuntut Umum pada pada sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Senin  (3/9/2018) lalu telah menuntut SAT 15 tahun penjara dan denda Rp  1 milyar. Kamis (13/9/2018), SAT dijadwalkan akan menyampaikan pledoinya atas tuntutan tersebut.

Yusril Ihza Mahendra menilai, karena peristiwa atau perbuatan/kejadian misrep itu tidak ada atau tidak pernah terjadi, maka unsur melawan hukum dari Sjafruddin Temenggung tidak terbukti. Ia menampik dakwaan oleh jaksa tentang SN yang menyatakan hutang petambak adalah lancar padahal macet.

“Peristiwa atau kejadian dimana SN menyatakan hutang tersebut lancar adalah tidak pernah ada. Karena tiada seorang pun saksi maupun bukti lain termasuk surat dan pengakuan SN yang membuktikan adanya peristiwa misrepresentasi itu," ujarnya.

Utang Petambak adalah utang para petambak kepada BDNI, dan merupakan salah satu Asset BDNI. Sedangkan BDNI telah di ambil alih oleh BPPN sejak 3 April 1998, lebih dari 1 tahun sebelum MSAA di Closing pada 25 Mei 1999. Pada saat pembuatan MSAA seluruh data Neraca dan perhitungan berasal dari BPPN sendiri.

“Bagaimana sekarang setelah 20 tahun baru dinyatakan ada misrepresentansi? Apalagi MSAA adalah suatu perjanjian Perdata, dimana didalamnya jelas tertera, jikalau ada perselisihan atau argumentasi misrepresentansi harus diselesaikan melalui Hukum Perdata. Sebelum ada keputusan Pengadilan Perdata yang berkuatan hukum tetap, berarti tidak ada misrepresentansi," katanya.

Dalam argumentasinya, Yusril juga menunjuk pada dua saksi atas sangkaan tersebut yang diajukan JPU yaitu Glenn M Yusuf dan Rudy Suparman. Glenn Yusuf, mantan Ketua BPPN mengakui di muka sidang, pada mulanya ia dalam suratnya menyatakan bahwa SN telah menyatakan bahwa hutang petambak adalah lancar.

Berita Rekomendasi

Namun kemudian, setelah mendengarkan keterangan kesaksian Farid Harianto mantan Wakil Ketua BPPN bahwa SN tidak pernah hadir dalam rapat, Glenn Yusuf meralat keterangannya sendiri.

Glenn menyatakan, dia baru sekarang mengetahui bahwa SN tidak pernah hadir dalam negosiasi. Seketika ia merubah pernyataannya dan menyatakan bahwa pernyataan hutang itu lancar berasal dari advisor.

Dalam sidang, Glenn juga mengakui bahwa dia sendiri tidak pernah hadir dalam rapat tersebut dan informasi tersebut hanya dia peroleh dari stafnya.

Saksi Rudy Suparman, mantan Direktur Utama Danareksa dalam persidangan menyatakan, SN selaku pemegang saham pengendali BDNI mempresentasikan pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun sebagai pinjaman lancar melalui advisornya.

Yusril menyimpulkan, keterangan dua orang saksi tersebut justru membuktikan bahwa tidak ada kata-kata atau keterangan dari SN sendiri yang menyatakan “hutang petambak adalah lancar”.

Fakta ini didukung oleh pernyataan Glenn Yusuf bahwa SN tidak hadir dalam negosiasi, dengan demikian SN tidak mungkin menyatakan bahwa hutang petambak adalah lancar. Fakta lainnya, Glenn dan Rudy Suparman menyatakan bahwa kata-kata hutang lancar tersebut disampaikan oleh advisornya.

“Ini justru membuktikan bahwa SN tidak pernah menyatakan sendiri. Apakah betul advisor pernah menyatakan hal tersebut, siapa nama advisornya, kapan, dimana, dan terhadap siapa disampaikan? Semua hal itu tidak pernah dibuktikan di pengadilan karena advisor tersebut tidak pernah diperiksa dan tidak pernah memberikan keterangan di persidangan,” ujarnya.

Dan lagipula, tambah Yusril, advisor bukanlah kuasa dari SN, sehingga apabila pun benar (quad non) advisor menyatakan hal itu, tentu SN tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena advisor bukan kuasa dari SN.

Advisor tentu hanya dapat menyatakan pendapatnya sendiri, tidak mewakili orang lain. Ini sesuai dengan bantahan SN dalam suratnya tertanggal 12 November 1999, surat mana yang diungkapkan di persidangan.

Yusril juga menyanggah pendapat hukum (legal opinion) LGS bahwa SN telah melakukan misrepresentasi dalam pelaksanaan MSAA.

“Apa yang disampaikan oleh LGS hanyalah pendapat atau opini dan bukan fakta hukum, sedangkan LGS, dalam hal ini Timbul Lubis, memberikan kesaksian sebagai saksi fakta. Pendapat hukum atau opini belaka bukanlah merupakan keterangan saksi yang sah dan yang dapat diterima berdasarkan Pasal 184 KUHAP. Sehingga keterangannya tidak bernilai secara hukum dan harus dikesampingkan”.

Ditambah lagi dalam persidangan Timbul Lubis menyatakan, seluruh data berasal dari BPPN, dan ada sejumlah data yang tidak diberikan karenanya kesimpulannya menjadi tidak lengkap. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas