Komisi IX Terima Masukan Pakar untuk RUU Waspom
Saleh juga mengungkapkan, antara BPOM dengan Kemenkes juga masih ada penghalang, kadang ada Permenkes yang tidak bisa dilangkahi oleh BPOM.
Editor: Content Writer
Panitia Kerja Komisi IX DPR RI tentang Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU Waspom) menerima masukan dari para pakar perguruan tinggi, Iwan Dwiprahasto dan Suwijiyo Pramono dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Yeyet Cahyati dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh P Daulay mengungkapkan soal aspek penindakan yang masih ada tumpang tindih antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan Kepolisian, bahkan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Jadi, ketika mereka menemukan obat palsu, mereka tidak bisa bertindak.
“Mereka harus bawa polisi, di situ lah polisi yang menindak. Ada kasus dimana justru polisi yang menemukan, polisi razia, karena mendapat informasi dari masyarakat. Lalu polisi yang menindak karena ditemukan ada pemalsuan obat,” papar Saleh saat audiensi dengan para pakar, di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/9/2018).
Menurutnya hal ini terjadi karena BPOM berdiri atas dasar pada Perpres. “Kewenangan BPOM diambil polisi, karena tanpa ada BPOM dia bisa menindak, bisa membongkar kasus yang seperti itu. Di sini ada tumpang tindih kewenangan dalam penindakan,” tandas legislator Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Saleh juga mengungkapkan, antara BPOM dengan Kemenkes juga masih ada penghalang, kadang ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang tidak bisa dilangkahi oleh BPOM.
Legislator dapil Sumatera Utara itu berharap ada upaya untuk menyelaraskan persoalan tumpang tindih ini.
Di sisi lain, Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan, pihaknya akan menyerahkan persoalan aturan yang sifatnya teknis pada peraturan turunannya, seperti peraturan pemerintah. Dalam undang-undang akan dibahas fungsi makronya yang lebih general.
“Bapak-bapak sebagai guru besar merasa bahwa undang-undang ini memang dibutuhkan. Tentu dalam membuat undang-undang pada dasarnya ini adalah kesepakatan politis, oleh karenanya tidak ada undang-undang yang sempurna, pasti nanti undang-undang itu akan digugat lagi,” papar legislator Partai Demokrat itu.
Sedangkan Pakar Farmasi UGM Iwan Dwiprahasto memaparkan tentang anomali dari aspek distribusi obat yang tidak menerapkan good distribution practice (GDP), bahkan kurang ada law enforcement. Dalam beberapa kasus juga memainkan harga pasar melalui mekanisme distribusi seperti menyediakan dalam jumlah tententu, selebihnya menetapkan harga tinggi.
Para pelaku pasar obat juga melakukan semi monopoli seperti mendistribusikan obat yang fast moving dan profitable. Tindakan tersebut menjadi salah satu faktor kelangkaan obat, sehingga keberlangsungan kesediaan obat terganggu.
Yang lainnya juga, di lapangan terjadi anomali dari aspek health care provider, seperti menggunakan obat secara off lable, meresepkan obat untuk mendapat imbalan, menggunakan obat untuk intimidasi pasien. Melakukan pelayanan obat individu dan berperan layaknya apotek, dan meresepkan obat untuk off lable.(*)