Sekjen PDIP Bicara Soal Film G30S/PKI, PRRI, Hingga Produksi Film yang Memperkuat Persatuan
DPP PDI Perjuangan mempersilahkan masyarakat atau kelompok manapun untuk menonton film G30S/PKI.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-DPP PDI Perjuangan mempersilahkan masyarakat atau kelompok manapun untuk menonton film G30S/PKI. Namun PDI Perjuangan juga mendorong agar masyarakat belajar dari berbagai kejadian yang menyangkut perjuangan pendiri bangsa memastikan persatuan nasional dalam kerangka NKRI.
Bahkan, PDI Perjuangan berharap agar produksi film nasional dengan narasi persatuan lebih diperbanyak. Hal itu disampaikan oleh Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, ketika ditanya wartawan soal polemik pemutaran film G30S/PKI.
"Kita melihat ya, nonton itu sah-sah saja. Saya saja dulu setiap tahun menonton. Karena dulu itu namanya TV itu hanya ada TVRI. Jadi diputarkan film itu. Bahkan kepulan asapnya pun kita hapal," kata Hasto," Jumat (28/9/2018).
Saat jaman otoriter Orde Baru, stasiun TVRI pasti memutarkannya setiap 30 September. Di era itu, banyak larangan, termasuk membaca karya Proklamator RI Bung Karno.
Ketika Reformasi 1998 terjadi, kata Hasto, ada upaya untuk melihat kejadian seputar tragedi 1965 secara jernih. Dan dalam konteks itu, Hasto mengatakan sebenarnya perlu juga menghadirkan film-film lain yang berisi narasi persatuan nasional. Berbeda dengan film G30S/PKI yang narasi dominan adalah konflik.
"Misalnya film-film soal pembacaan detik-detik proklamasi, Sumpah Pemuda, tentang Hari Santri dan 10 November. Itu kan hal bagus karena bagaimana nation and character building itu sangat penting," ujarnya.
Kata Hasto, sangat diperlukan untuk membangun narasi yang mempersatukan, dengan belajar dari sejarah berbagai macam bentuk konsolidasi negara RI. "Misal belajar dari kasus PRRI/Permesta yang bekerja sama dengan pihak asing saat itu," kata Hasto.
Belajar soal perjuangan bangsa, seperti kasus PRRI/Permesta, menurut Hasto, akan membawa ke alam pikir soal kondisi Indonesia yang sangat strategis. Indonesia yang secara geografis terletak diantara dua benua, selalu tidak lepas dari kepentingan asing.
"Bayangkan, pemerintahan kita baru saat itu, tapi ada yang (memberontak) melibatkan asing waktu itu. Kemudian ada berbagai konsolidasi kekuasaan lain yang tak mudah. Pemberontakan PKI 1948 juga jadi pelajaran sejarah bagi bangsa kita," beber Hasto.
"Pembelajaran sejarah ini supaya kita menatap masa depan dengan sejarah itu. Dan terbukti lah Pancasila yang menyatukan kita bersama."
Dengan itu, Hasto menekankan bahwa isu musiman menjelang peringatan peristiwa G30S/PKI bisa ditanggapi secara bijak. Yakni belajar dari masa lalu untuk kemudian melakukan langkah-langkah rekonsiliasi untuk menatap masa depan.
Harus diingat, kata Hasto, Indonesia diakui oleh berbagai negara dalam melakukan rekonsiliasi. Indonesia dilibatkan dalam mendamaikan konflik saudara di Kamboja. Begitupun dalam berusaha mendamaikan konflik Korea Selatan-Korea Utara. Terbukti di Asian Games terakhir di Jakarta, delegasi kedua negara muncul bersama-sama saat upacara pembukaan.
"Kalau mereka memberikan apresiasi terhadap kepemimpinan kita, kita punya daya kemampuan dalam membantu negara-negara dalam menyelesaikan konfliknya. Kenapa kemudian dari dalam diri kita sendiri, selalu melihat masa lalu dan kemudian tidak merancang proses rekonsiliasi untuk masa depan bagi anak cucu kita?" kata Hasto.