Amnesti Presiden Jokowi Jadi Harapan Terakhir Baiq Nuril Maknun
Nuril dijerat kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo diminta untuk memberikan amnesti atau penghapusan hukuman kepada seorang mantan pegawai honorer SMU 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun.
Nuril dijerat kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Internet Lawyer Network atau ILawNet menduga ada cacat hukum dalam putusan hakim dalam kasus Nuril
Anggota ILawnet, sekaligus peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara menduga majelis hakim di tingkat kasasi tidak memahami perkara. Jika Jokowi tidak mempertimbangkan pemberian amnesti, ucap Anggara, kepercayaan publik bisa berkurang.
"Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin berkurang. Jadi, salah satu cara Bu Nuril itu bisa bebas, ya dengan pemberian amnesti. Tidak ada yang lain," ujar Anggara di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (16/11/2018).
Amnesti merupakan hak prerogratif Presiden sesuai Undang-Undang 1945 pasal (2), yang berbunyi 'Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat'.
Baca: Punya Waktu 30 Hari Sempurnakan DPT, Ini Yang Dilakukan KPU
"Presiden memiliki hak ini untuk mengampuni dan membebaskan seseorang dari dakwaan hukum, baik yang sudah divonis atau sedang menjalani proses persidangan," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan mengatakan adanya kasus Nuril membuat para perempuan korban pelecehan seksual enggan melaporkan pelaku ke ranah hukum. Sebab, pelapor takut akan menjadi bumerang seperti kasus Nuril.
Nuril divonis bersalah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung karena melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Nuril dituding mentransmisikan konten yang memuat percakapan mesum kepala sekolah di tempatnya bekerja dulu. Mahkamah Agung menghukumnya 6 bulan penjara dan mengenakan denda maksimal Rp 500 juta.