Membaca Psikologi Politik Jokowi Terkait Istilah 'Sontoloyo' dan 'Genderuwo'
Pakar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk menyebut periode masa kampanye Pilpres 2019 ini belum berada pada tahap adu ide dan gagasan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk menyebut periode masa kampanye Pilpres 2019 ini belum berada pada tahap adu ide dan gagasan.
Terlebih, saat ini muncul jargon politik untuk saling menjatuhkan.
Seperti, penggunaan istilah politisi 'sontoloyo' dan politik 'genderuwo' yang dilontarkan oleh calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo.
Lalu, istilah 'tampang Boyolali' yang digunakan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto.
Jika dilihat dari preapektif psikologi politiknya, kata Hamdi, jargon-jargon politik seperti politisi 'sontoloyo' dan politik 'genderuwo' merupakan bentuk protes Jokowi.
Baca: Beda Gaya Komunikasi Politik Jokowi dengan Prabowo Politisi Sontoloyo dan Tampang Boyolali
Hamdi menyebut, hal itu menunjukan Jokowi melontarkan protes terhadap para politisi yang tidak memegang etika berpolitik.
"Jokowi merasa banyak politisi tak memegang etika politik yang membuat demokrasi kita lebih elegan," kata Hamdi dalam diskusi bertema 'Perang Diksi Antar Kandidat' yang digelar Populi Center di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Kamis (15/11/2018).
Lebih lanjut, Hamdi menilai, protes Jokowi itu tidak bisa dilepaskan dari banyaknya fitnah dan hoaks yang selama ini bergulir dalm menyerang ke petahana.
Terlebih, selama ini Jolowi selalu diisukan antek PKI, pro terhadap pemerintah China, anti-Islam dan isu masuknya jutaan tenaga kerja asing ke Indonesia.
"Kebetulan dia merasa serangan hoaks dan fitnah banyak mengarah pada dirinya dan dia mulai protes, maka muncullah politisi sontoloyo," kata Hamdi.
Di sisi lain, Hamdi menyebut, kedua istilah tersebut digunakan Jokowi untuk memberikan peringatan kepada para lawan politiknya.
Sebagai petahana, lanjut Hamdi, Jokowi berharap kontestasi Pilpres 2019 tidak diisi dengan fitnah atau hoaks, melainkan sebagai wadah pertarungan ide dan gagasan.
"Selain protes bisa juga warning atau kode keras. Janganlah politik kita seperti itu. Lebih baik adu gagasan, adu program," terang Hamdi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.