Ahli Hukum Tata Negara: Pidato Grace Natalie Tidak Mengandung Unsur Penistaan Agama
Bivitri Susanti menilai pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie tidak mengandung unsur penistaan agama.
Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie yang menolak Peraturan Daerah (Perda) agama diskrimimatif tidak mengandung unsur penistaan agama.
Seperti diketahui, pernyataan Grace pada HUT ke-4 PSI tersebut kemudian menjadi perbincangan, hingga akhirnya Grace Natalie dilaporkan ke Bareskrim Polri karena diduga menistakan agama.
Baca: Kunci Hilang, Polisi Buka Paksa Rumah Diperum Saat Rekonstruksi Pembunuhan Satu Keluarga di Bekasi
Namun, Bivitri menyebut hal tersebut tidak terlihat dalam pasal 165 KUHP tentang penistaan agama.
"Kalau saya lihat pidato dalam acara politik, sebenernya tidak menyingung agama, jadi istilah penodaan agama tidak juga," ujar Bivitri dalam diskusi Kampanye Nyinyir dan Gugat-Menggugat di Tahun Politik, di D Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018)
Bivitri mencontohkan bagaimana proklamator dan juga Presiden pertama RI, Sukarno semasa hidupnya, memiliki pesan pidato yang dapat menggugah semangat nasionalisme, tapi rata-rata tercetus kalima-kalimat yang sulit dimengerti.
Baca: Keanehan Penyerang Polisi di Mata Tetangga, Tiap Keluar Rumah Selalu Pakai Penutup Wajah
"Seperti berbicara 'JASMERAH', namanya pidato politik tidak bisa dijelaskan secara akademik dan prosedural," tambahnya.
Pidato Grace, menurut pandangan Bivitri, justru lebih cenderung pada janji politik belaka.
Maka, dikatakan Bivitri, masyarakat dapat melihat ketika partai tersebut tepilih nanti.
"Silakan dia akan mendorong (Perda agama) atau tidak, tapi itu adalah sebuah janji politik, dan janji politik tidak dapat dibawa ke ranah pidana," imbuhnya.
Baca: 62 Adegan Akan Diperagakan dalam Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Satu Keluarga di Bekasi
Hal yang Bivitri khawatirkan dari fenomena tersebut jika nantinya, setiap pidato politik dibawa ke ranah hukum dapat menghilangkan kebebasan berpolitik itu sendiri.
"Lama - lama tidak ada jalan politik bagi kita, dan politik kita nantinya diisi foto-foto yang isinya pete dan tempe," katanya.