Fuad Bawazier: Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 Tak Masuk Akal
Mantan Menteri Keuangan RI, Fuad Bawazier mengkritisi secara keras paket kebijakan ekonomi ke-16 yang pekan lalu diumumkan pemerintah Indonesia.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan RI, Fuad Bawazier mengkritisi secara keras paket kebijakan ekonomi ke-16 yang pekan lalu diumumkan pemerintah Indonesia.
Ia menyoroti kebijakan dalam paket tersebut yaitu membuka 54 bidang usaha dari daftar negatif investasi (DNI) sekaligus membuka investasi untuk asing.
“Paket kebijakan ekonomi ke-16 itu kontroversial, radikal, liar, dan tidak masuk akal,” tegas Fuad ditemui di posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Jalan Sriwijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/11/2018).
Menurutnya paket kebijakan ekonomi itu bertujuan untuk mengobral usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bagi asing.
Sementara kebijakan pemberian tax holiday bagi investor asing dinilai tak efektif untuk mendatangkan investasi dari luar negeri.
Baca: Fadli Zon soal Paket Kebijakan Ekonomi XVI: Bukti Pemerintah Neolib
“Pembukaan 54 bidang usaha dari DNI itu hanya untuk mengobral UMKM kepada asing, sementara kebijakan tax holiday itu terbukti tak menarik bagi investasi asing, karena investor asing dikenai pajak di Indonesia, juga dikenai pajak di negara ini, apalagi yang dibuka adalah UMKM seperti warung internet yang mungkin kurang menarik bagi investasi asing,” terangnya.
“Kebijakan itu seperti dimunculkan oleh orang-orang yang tidak paham dan tidak ada keberpihakan kepada UMKM,” imbuhnya.
Menurut Fuad yang lebih penting saat ini seharusnya pemerintah Indonesia mengatasi masalah kelesuan ekonomi karena turunnya konsumsi publik.
“Masalahnya sekarang bukanlah investasi, tapi turunnya daya beli dan tingkat konsumsi yang turun, seperti pada kuartal ketiga tahun 2018 pertumbuhan ekonomi di sektor produksi mencapai 5,17 persen sementara pertumbuhan sisi konsumsi hanya 4,4 persen, berarti ada sektor produksi yang tidak terserap,” pungkasnya.