Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dua Hakim PN Jakarta Selatan yang Ditangkap KPK Dikenal Profesional dan Tinggal di Kos-kosan

Bamsoet yakin Mahkamah Agung tidak akan Resisten terhadap peran KY tersebut demi kebaikan dunia peradilan di Indonesia.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Dua Hakim PN Jakarta Selatan yang Ditangkap KPK Dikenal Profesional dan Tinggal di Kos-kosan
TRIBUN/IRWAN RISMAWAN
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Iswahyu Widodo resmi ditahan KPK seusai menjalani pemeriksaan terkait OTT kasus suap penanganan perkara di PN Jaksel, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/11/2018). KPK menetapkan lima tersangka yakni dua hakim PN Jaksel Iswahyu Widodo dan Irwan, panitera pengganti PN Jaktim Muhammad Ramadhan, seorang pengacara Arif Fitrawan, serta pihak swasta Martin P. Silitonga sebagai tersangka dugaan suap terkait penanganan perkara perdata akuisisi PT Citra Lampia Mandiri oleh PT Asia Pacific Mining Resources yang digelar di PN Jaksel. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Irwan maupun Iswahyu Widodo yang ditahan oleh KPK atas operasi tangkap tangan pada Selasa (27/11/2018), dikenal sebagai hakim yang profesional.

Hal itu dijelaskan oleh Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Achmad Guntur yang juga sebagai anggota Majelis Hakim perkara yang menjerat kedua hakim tersebut.

"Selama menjadi rekan kerja, saya melihat mereka profesional dan tetap menjaga integritas sebagai hakim," jelasnya saat bertemu dengan Tribunnews.com di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (29/11/2018).

Hakim Iswahyu Widodo, misalnya. Cerita Guntur, pernah beberapa kali melihat pria asal Jawa Tengah itu, membawa berkas perkara yang ditangani olehnya masuk ke mobil menuju tempat tinggal guna dipelajari lebih lanjut.

Alasan lain, persidangan dapat berlangsung dari pagi hingga malam pukul 23.00WIB. Belum lagi, satu Majelis Hakim dapat menyidangkan hingga 30 perkara dalam satu hari.

"Beberapa kali lihat beliau bawa pulang berkas. Dia sempat bilang untuk dipelajari. Beberapa hakim juga begitu," katanya.

Baca: Ditangkap KPK, PN Jaksel Ganti Majelis Hakim

Ia enggan menjawab banyak tentang kegiatan kedua hakim di luar pengadilan. Pasalnya, masing-masing hakim memiliki kesibukannya sendiri-sendiri. "Saya tidak tahu kalau di luar. Tidak pernah ngobrol juga sih," lanjutnya.

Berita Rekomendasi

Kendati demikian, Guntur membenarkan bahwa kedua hakim lebih memilih untuk tinggal di kost ketimbang menempati rumah dinas yang sudah disediakan. Beberapa hakim di pengadilan negeri Jakarta Selatan, melakukan hal yang sama.

"Ada beberapa kok yang tinggal di kost. Biasanya sih karena lebih dekat saja. Pak Wahyu sama Pak Irwan juga ngekost tidak jauh dari sini," ucapnya.

Setidaknya, sepanjang Kamis (29/11), sebanyak 20 perkara harus ditunda persidangannya karena kejadian tersebut. Guntur masih belum tahu, akan berapa banyak lagi perkara yang harus tertunda.

Pengadilan, lanjut dia, akan segera membentuk Majelis baru untuk melanjutkan sidang perkara yang ditangani oleh kedua hakim melalui aturan yang ada.

"Data lengkap perkara yang dipegang berapa, masih belum kami data," tukasnya.

Achmad Guntur juga menjelaskan sudah ada pembicaraan dari ketua pengadilan kepada para hakim, dua hari sebelum kejadian terjadi. Saat itu, Arifin mengingatkan agar para hakim menjaga integritas, serta tidak melakukan tatap muka secara langsung kepada para pihak yang bersengketa.

"Kalau diingatkan ya sering. Dua hari sebelum kejadian, semua hakim diingatkan Pak Ketua untuk menjaga integritas," ucapnya.

Baca: Pemberhentian Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang Ditangkap KPK Berada di Tangan Presiden

Jubir Mahkamah Agung (MA), Suhadi, menceritakan sebelum tertangkap keduanya sempat dipanggil Ketua PN Jakarta Selatan Arifin.

Pemanggilan keduanya oleh Arifin, dikatakan Suhadi terkait soal kendala dalam perkara-perkara yang mereka tangani.

"Dan beliau (Arifin) menurut cerita, pada sore hari itu dia sudah memanggil para hakim yang pegang perkara potensi perhatian publik, sudah ditanya apa ada masalah, termasuk dua orang ini," ujar Suhadi saat konferensi pers di gedung MA.

Kepada Arifin, Iswahyu dan Irwan mengaku tidak ada kendala selama menjalani persidangan.

"Mereka bilang nggak ada masalah," ucap Suhadi.

Konsultasi ke MA

Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan bahwa terjaringnya hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dalam dugaan kasus suap telah mencroreng peradilan Indonesia.

"Itu telah mencederai peradilan kita," ujar Bamsoet di Kompleks Parlemen.

Oleh karena itu menurut Bamsoet Komisi III DPR RI akan berkonsultasi dengan Mahkamah Agung (MA) untuk mencari solusi masih adanya hakim nakal yang tersangkut masalah suap dan korupsi. "Nanti diserakan kepada Komisi III untuk konsultasi bersama MA," tuturnya.

Selain itu Bamsoet meminta Komisi Yudisial (KY) untuk memaksimalkan perannya melakukan pengawasan terhadap para hakim di Indonesia.

Bamsoet yakin Mahkamah Agung tidak akan Resisten terhadap peran KY tersebut demi kebaikan dunia peradilan di Indonesia.

"DPR dorong KY berperan kurangi hal-hal tindakan hakim yang tidak terpuji dan apa yang sudah diberikan negara pada KY udah bagus tapi KY harus lakukan tugas pokoknya yaitu pembinaan dan pengawasan," pungkasnya.

Dalam perkara ini, Iswahyu Widodo dan Irwan sebagai tersangka penerima suap bersama Muhammad Ramadhan diduga menerima suap sekira Rp650 juta dalam bentuk 47 ribu dolar Singapura (sekira Rp500 juta) dan Rp150 juta dari Arif Fitrawan dan Martin P. Silitonga.

"Diduga sebagai pemberi adalah advokat AF dan MPS yang saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum yang saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum," ujar Wakil Ketua KPK Alexander.

Terhadap pihak yang diduga penerima, Iswahyu Widodo, Irwan dan Muhammad Ramadhan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi, Arif Fitrawan dan Martin P Silitonga disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas