Pilpres Ini Head to Headnya Jokowi dengan Sandi, Prabowo dan Maruf Amin Sudah Mentok
Pilpres ini head to headnya Jokowi dengan Sandi. Sebab untuk Prabowo, elektabilitasnya ya sudah mentok di kisaran itu.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Calon Wakil Presiden nomor urut 1 KH Ma'ruf Amin kembali menjadi sorotan.
Terutama masalah kesehatan, juga masalah penilaian bahwa Jokowi bekerja sendiri dalam kampanye Pilpres lantaran Kiai Ma'ruf Amin dinilai kurang memberikan sumbangsih dalam elektoral capres incumbent dalam Pilpres 2019 mendatang.
Menanggapi hal itu, Peneliti Surabaya Survey Center (SSC) yang juga dosen komunikasi politik dan dekan FISIB Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan hal itu mau tidak mau harus diakui.
"Kalau mau jujur Pilpres ini head to headnya Jokowi dengan Sandi. Sebab untuk Prabowo, elektabilitasnya ya sudah mentok di kisaran itu. Yang punya potensi menambah elektabilitas dan efek elektoral yang bisa mendongkrak ya Pak Jokowi dan Pak Sandiaga Uno," kata Surokim pada Surya, Jumat (7/12/2018).
Menurut Surokim, Kiai Ma'ruf sesungguhnya berangkat menjadi cawapres dalam rangka menjaga kekompakan partai koalisi.
Secara insentif elektoral, Ma'ruf Amin hanya mendapatkan dukungan dari struktural NU dan juga pemilih dari kalangan Nahdiyin di pedesaan.
"Menggaet suara di luar itu, saya merasa bahwa Kiai Ma'ruf butuh kerja keras. Apalagi kalau dilihat dari sisi usia dan juga kesehatan beliau juga," sambungnya.
Sedangkan posisinya saat ini ada sebanyak 40 persen pemilih millenial dan rasional.
Sedangkan untuk swing voters nasional mencapai 27 persen.
Ceruk pemilih ini kemungkinan hanya bisa disasar oleh Jokowi dan Sandi.
Sebab faktanya di lapangan, pemilih rasional banyak memikirkan dan mempertimbangkan tentang kapabilitas dan produktivitas.
Terutama para pemilih millenial yang menginginkan perubahan hal tersebut potensinya bisa ditawarkan oleh Jokowi dan Sandi.
Selain itu, ia juga menyarankan pada tim untuk turut mengontrol persepsi yang mungkin muncul di pemilih rasional.
Masalah kesehatan, akan disambungkan pada kapabilitas dan juga produktivitas kinerja, yang bisa jadi kurang menguntungkan bagi Ma'ruf Amin.
Terlebih saat ini arus informasi begitu mudah didapatkan. Ada kesalahan sikap, dan statemen sedikit saja bisa berdampak pada elektoral pasangan ini.
"Saya rasa bagi Kiai Ma'ruf beliau cukup berperan aman saja. Beliau jadi juru harmoni saja. Menjaga suara dan harmonisasi di pilpres, begitu saja sudah bagus. Kiai Ma'ruf tidak perlu masuk sebagai juru gedor, juga terlibat dalam konfliktual, karena bisa berimbas pada menyedot insentif elektoral," paparnya.
Ia mengingatkan juga lebih baik Kiai Ma'ruf tak perlu terlalu fokus dalam diskurus untuk program ini dan itu.
Sebab, kalau ada yang meleset akan merugikan, seperti soal mobil Esemka beberapa waktu lalu yang ujungnya menjadi blunder bagi Kiai Ma'ruf.
Di sisi lain, menurutnya Jokowi tidak bisa mengandalkan Kiai Ma'ruf untuk merebut suara swing voters.
Jokowi harus berinovasi untuk bisa memberikan penawaran elektoral pada pemilih yang masih belum menentukan pilihan.
"Sebagai incumbent elektabilitas Pak Jokowi sendiri memang sudah tinggi sekitaran 40 persen. Namun belum menyentuh 60 persen, dan ini belum aman."
"Sangat potensial bagi Pak Jokowi untuk bisa merebut suata swing voters sebesar 27 persen ini, dan pak Jokowi harus bekerja lebih aktif. Untuk bisa mencapai ini, tidak bisa andalkan Kiai Ma'ruf," pungkasnya.