Murphi Nusmir: Tak Ada UU yang Benarkan ODGJ Diberi Hak Pilih
Pemilihan Umum 2019 sudah di ambang pintu. Namun, banyak problem yang masih mengganjal, salah satunya pemberian hak pilih kepada ODGJ.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS, COM, JAKARTA – Pemilihan Umum 2019 sudah di ambang pintu. Namun, banyak problem yang masih mengganjal, salah satunya pemberian hak pilih kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
"Tak ada undang-undang yang membenarkan ODGJ diberi hak pilih," ungkap Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Dr Tengku Murphi Nusmir di sela rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPHI di Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperbolehkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mencoblos dalam Pemilu 2019, bahkan tidak diwajibkan membawa surat rekomendasi dari dokter, dengan dalih demi kesetaraan dengan penyandang disabilitas lainnya.
ODGJ dikategorikan sebagai penyandang disabiltas mental. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan UU No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas. ODGJ tersebut akan didampingi pendamping independen dalam menggunakan hak suaranya.
“Bagaimana bisa ODGJ menggunakan hak suaranya? Jangan serahkan masa depan bangsa ini kepada ODGJ,” cetus Murphi.
Baca: Orang Gangguan Jiwa Punya Hak Pilih di Pemilu 2019, Mahfud MD Singgung Segi Negatif Reformasi
Murphi lalu menganalogikan ODGJ yang tidak bisa dipidanakan, bahkan sekadar menjadi saksi pun tidak bisa, sebagaimana disebut Pasal 145 ayat (4) Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), di mana saksi yang tidak dapat didengar ialah orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan terang. Juga Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi : ‘Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.'
“ODGJ justru bisa dimanfaatkan pendamping dalam menggunakan hak pilihnya,” tukas Murphi yang juga advokat ini.
Problem krusial kedua yang akan mengganjal Pemilu 2019, kata Murphi, soal Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dalam pertemuan KPU dengan seluruh partai politik peserta Pemilu 2019 untuk membahas pemutakhiran DPT, Kamis (13/12/2018), ada indikasi 1,6 juta pemilih ganda pada DPT hasil perbaikan ke-1 (DPTHP-1), dari sebelumnya diisukan 25 juta pemilih. Dari DPTHP-1 sejumlah 186.832.449 pemilih, ada potensi kegandaan 1.686.837 pemilih.
“Lebih parah lagi, banyak warga memiliki KTP ganda, dan KTP ganda ini bisa dimanfaatkan untuk mencurangi pemilu,” jelasnya sambil menambahkan jumlah Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda mencapai 2 juta.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun mengakui, dari 261 juta penduduk Indonesia yang terdata, tidak sedikit yang memiliki KTP ganda, bahkan sampai tiga dan empat KTP (TribunBatam, Kamis 8 Februari 2018).
Problem ketiga, lanjut Murphi, adalah penggunaan kotak suara dari kardus, yang oleh KPU disebut karton kedap air, dengan dalih penghematan anggaran. “Bukankah kardus atau karton itu mudah rusak? Kalau kena air bisa hancur. Ini berbahaya bagi keamanan kertas suara,” tegasnya.
Untuk itu, sebut Murphi, PPHI akan menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada Januari 2019 yang salah satu agendanya ialah melahirkan rekomendasi bagi KPU agar mengantisipasi tiga problem krusial tersebut, apalagi Pemilu 2019 akan digelar serentak antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
“Kalau tiga problem krusial tadi tidak terpecahkan, legitimasi hasil pileg dan pilpres bisa dipertanyakan. Gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) akan marak. Kuncinya, KPU harus netral atau independen. Bila tidak, legitimasi hasil pemilu juga akan dipertanyakan,” paparnya.
“Kita akan kawal terus KPU dalam menyelenggarakan pemilu supaya bisa berlangsung langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil, sehingga hasilnya pun konstitusional dan legitimated,” terangnya sambil menambahkan, PPHI selalu concern dengan problem-problem yang dihadapi bangsa dan negara ini, bukan sebatas problem penegakan hukum dan keadilan semata.
“Itulah yang membedakan PPHI dengan organisasi advokat lainnya yang hanya berkutat dengan masalah hukum,” tandasnya.
Wakil Ketua Umum PPHI Ahmad Iskandar menambahkan, sebenarnya penetapan DPT itu tidak rumit, yakni KPU cukup menambahkan warga yang telah berusia 17 tahun atau belum 17 tahun tapi sudah menikah ke dalam DPT 2014, serta menguranginya dengan jumlah warga yang sudah meninggal. Data tersebut kemudian menjadi DPT 2019.
“Dengan begitu, data pemilih ganda tak akan muncul,” ujar mantan komisioner KPUD Sukabumi ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.