Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Masih Hirup Udara Bebas Meski Sudah Berstatus Tersangka KPK
Namun pria yang mengenakan batik cokelat itu masih menghirup udara bebas meskipun sudah berstatus tersangka.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama (Dirut) Perum Jasa Tirta II Djoko Saputro telah usai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi jasa konstruksi.
Namun pria yang mengenakan batik cokelat itu masih menghirup udara bebas meskipun sudah berstatus tersangka.
Usai diperiksa, Djoko mengatakan, tim penyidik KPK belum meminta keterangannya.
"Belum di BAP (berita acara pemeriksaan) saya. Saya belum bisa cerita banyak ya," ucap Djoko sembari berjalan menuju halaman depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (18/12/2018).
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Dirut PJT II Djoko Saputro dan Andririni Yaktiningsasi dari pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di PJT II tahun 2017.
Djoko Saputro selaku Dirut PJT II diduga dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menggunakan kewenangan atas jabatannya sehingga merugikan keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa tersebut.
Korupsi ini berawal setelah Djoko diangkat menjadi Dirut Perum Jasa Tirta II diduga memerintahkan merelokasi anggaran.
Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaaran pada pekerjaan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan strategi korporat yang awalnya Rp2,8 miliar menjadi Rp9,55 miliar.
Adapun dana sebesar Rp9,55 miliar itu untuk dua kegiatan yakni perencanaan strategi korporat dan proses bisnis senilai Rp3.820.000.000 serta perencanaan komprehensif pengembangan SDM PJT II sebagai antisipsasi pengembangan usaha perusahaan sebesar Rp5.730.000.000.
Baca: Saat Surya Paloh Sampaikan Kegelisahan Hati ke Kyai Ponpes Al Qodiri
Perubahan tersebut diduga tanpa adanya usulan baik dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Setelah diaudit, Djoko diduga memerintahkan pelaksanaan kedua kegiatan tersebut, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Econonic Center (PT BMEC) dan PT 2001 Pangripta.
Adapun realisasi pembayaran untuk kedua proyek tersebut per 31 Desember 2017 sejumlah Rp5.564.413.800.
Rinciannya, pekerjaan komprehensif pengembangan SDM PJT II sebagai antisipasi pengembangan perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan perencaan strategis korporat dan proses bisnis Rp2.204.155.800.
Diduga nama-nama para ahli yang terancum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
Lelang pengadaan pekerjaan ini pun diduga direkayasa dan formalitas dengan membuat penganggalan dokumen administrasi lelang secara backdated.
Akibatnya negara mengalami kerugian keuangan setidak-tidaknya Rp3,6 miliar.
Kerugian setidak-tidaknya Rp3,6 miliar yang merupakan dugaan keuntungan yang diterima AY (Andririni Yaktiningsasi) dari dua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.
KPK menyangka Djoko Saputro dan Andririni Yaktiningsasi melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.