4 Kemungkinan Penyebab Tsunami di Selat Sunda Menurut Para Ahli
Gelombang tsunami yang datang tiba-tiba di beberapa daerah di pesisir Selat Sunda telah menelan ratusan korban jiwa.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang tsunami yang datang tiba-tiba di beberapa daerah di pesisir Selat Sunda telah menelan ratusan korban jiwa.
Berdasarkan data sementara yang dihimpun posko BNPB hingga Minggu (23/12/2018) pukul 16.00 WIB, tercatat 222 orang meninggal dunia, 843 orang luka-luka dan 28 orang hilang.
Gelombang tsunami ini menimbulkan banyak pertanyaan, apa penyebab sebenarnya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menduga ada dua peristiwa yang memungkinkan menjadi pemicu gelombang tsunami di sekitar Selat Sunda tersebut, yakni aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang tinggi akibat faktor cuaca di perairan Selat Sunda.
Baca: Penampakan Erupsi Gunung Anak Krakatau Penyebab Tsunami Banten, Sutopo Sebut Bukan yang Terbesar
Namun hal itu pun masih dalam penyelidikan oleh pihak tertentu.
Sementara itu, Volkanolog ITB Dr Mirzam Abdurachman dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa aktivitas Gunung Anak Krakatau ini terus menggeliat akhir-akhir ini, lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
"Letusan besar terjadi pukul 18.00 WIB dan terus berlanjut hingga pagi ini. Bahkan letusannya terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 km arah timur laut seperti di laporkan tim patroli," katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/12/2018).
Menurutnya, gunung yang terletak di tengah laut atau yang berada di pinggir pantai seperti Gunung Anak Krakatau ini sewaktu-waku sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami.
"Volcanogenic tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api," ujarnya.
Dikatakan, ada 4 mekanisme menyebabkan terjadinya volcanogenic tsunami.
Pertama, kolapnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut, mudahnya seperti meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya.
Dua, pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba.
Menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membalikannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut.
"Mekanisme satu dan dua ini pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan," katanya.
Tiga, material gunung api yang longsor bisa memicu perubahan volume air di sekitarnya.
Tsunami tipe ini pernah terjadi di Gunung Unzen, Jepang tahun 1972.
Banyaknya korban jiwa saat itu hingga mencapai 15.000 jiwa disebabkan pada saat yang bersamaan sedang terjadi gelombang pasang.
Empat, lanjutnya, aliran piroklastik atau yang sering dikenal wedus gembel yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi, bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai.
Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Gunung Pelee, Martinique, meletus pada 8 Mei 1902.
Saat itu aliran piroklastik Gunung Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.
"Volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya, namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda tadi malam," katanya.
Namun hal tersebut masih perlu dilakukan penelitian dan pendalaman lebih lanjut.
"Diperlukan penelitian lebih lanjut buat memastikan penyebab utama Tsunami di Selat Sunda," tutupnya. (Kontributor Bandung, Agie Permadi)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "4 Kemungkinan Penyebab Tsunami di Selat Sunda Menurut Vulkanolog ITB"