Tiga Kekurangan UU No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme versi AIDA
Kekurangan kedua menurut Hasibullah adalah mempertegas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai leading sector
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi menilai masih ada tiga kekurangan dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang harus dilengkapi melalui Peraturan Pemerintah atau PP.
Yang pertama menurut Hasibullah, adalah penguatan koordinasi antarkelembagaan yang berwenang di bidang pemberantasan terorisme dengan tujuan menetapkan lembaga mana yang berwenang menetapkan korban serta mengeluarkan hak-haknya.
“Mengacu pada UU yang sekarang lembaga yang berhak menetapkan korban adalah penyidik, tapi hingga kini data masih simpang siur di mana setiap lembaga mengeluarkan data, sehingga perlu ada penetapan satu lembaga yang berhak menetapkan korban dan mengeluarkan haknya,” jelas Hasibullah di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Kekurangan kedua menurut Hasibullah adalah mempertegas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai leading sector perlindungan korban sejak detik pertama peristiwa terjadi.
Baca: Elite PDIP Tanggapi Santai Ancaman Kubu Prabowo-Sandi Mundur dari Pemilu
Menurutnya, LPSK sudah ditetapkan sebagai leading sector dalam hal perlindungan korban bom namun faktanya, dalam waktu-waktu awal terjadi peristiwa ledakan, perlindungan korban masih dipegang kepolisian.
“Kami menilai LPSK perlu digandeng sejak awal dalam hal pemenuhan hak korban,” imbuhnya.
Kemudian, Hasibullah mengatakan kepolisian perlu segera menetapkan radius wilayah terdampak ledakan bom agar pemenuhan hak korban tepat sasaran.
“Jangan sampai orang yang jauh sekali dari lokasi kemudian tak ada bukti yang mendukung mendapat bantuan dari pemerintah, karena selama ini penentuan pemberian bantuan hanya didasarkan pada klaim fisik serta dokumen dari rumah sakit yang menurut kami tak cukup kuat,” tegasnya.
Hasibullah mengatakan PP untuk mengatur pelaksanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus segera diterbitkan utamanya untuk mengatur pemenuhan hak korban oleh pemerintah.
Karena menurutnya hingga sekarang masih ada ratusan korban ledakan bom yang terdampak yang belum diberikan bantuan oleh pemerintah, sedangkan yang sudah menerima bantuan menurutnya hanya sekitar 20-an orang saja dari berbagai kasus bom.
“Keterdesakan PP untuk segera dikeluarkan adalah bahwa pelaksanaan pendataan administrasi korban yang belum mendapat kompensasi akan sudah selesai dilaksanakan tiga tahun sejak UU disahkan pada 2018, namun secara norma baru berjalan jika PP diterbitkan sehingga mendesak untuk segera diterbitkan,” katanya.
“Dan kami mendesak penetapan korban berdasarkan pada penetapan pengadilan, bukan putusan pengadilan,” pungkasnya.