Empat Macam Golput Menurut Koalisi Masyarakat Sipil
Menurut Alghif, mereka yang golput politis biasanya disebabkan dua hal antara lain karena calon pegislatif atau presidennya tidak ada yang baik
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur LBH Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Algiffhari Aqsa menyebutkan sekurangnya ada empat alasan masyarakat memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput) dalam Pemilu 2019.
Pertama adalah karena tidak peduli terhadap politik atau apolitis.
Hal itu dinyatakan Alghif saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Rabu (23/1/2019).
"Ada yang golput memang karena apolitis. Nggak peduli dengan siapapun presidennya hidup akan begini-begini saja," kata Alghif.
Namun ia menekankan agar masyarakat juga harus memahami adanya kemungkinan ketidakpedukian itu muncul karena sesuatu yang politis.
"Karena memang sistem elektoralnya tidak bekerja dengan baik misalnya," kata Alghif.
Kedua adalah golput politis.
Baca: Indonesia Kembali Perjuangkan Isu Sawit pada Pertemuan ASEAN-Uni Eropa
Menurut Alghif, mereka yang golput politis biasanya disebabkan dua hal antara lain karena calon pegislatif atau presidennya tidak ada yang baik menurut penilaian mereka dan tidak percaya pada sistem politik yang ada.
"Misalnya pencalonan dari independen tidak bisa, presidensial tresshold yang sangat tinggi 20 persen sehingga hanya dua calonnya, anggota dewan yang tidak perform atau karena melakukan KDRT serta mendorong kepentingan lain di luar kepentingan konstituennya," kata Alghif.
Ketiga, ada juga golput yang sama sekali tidak percaya dengan sistem demokrasi perwakilan tapi hanya percaya pada sistem demokrasi langsung.
"Yang ini memang jumlahnya tidak terlalu banyak tapi ini juga golput politis yang punya signifikasni dan resonansi yang luar biasa juga," kata Alghif.
Keempat, ada juga orang yang tidak bisa memilih karena buruknya teknis Pemilu atau pun karena memang dihalangi oleh majikannya.
"Golput adalah hak konstitusionalnya warga negara. Itu diatur oleh UUD, kovenan hak sipil dan politik, dan UU HAM. Karena dia sifatnya hak. Orang yang mempunyai hak tersebut dia bisa menggunakan bisa tidak. Tidak bisa diwajibkan," kata Alghif.
Dalam konferensi pers tersebut, ia menyatakan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil bukanlah gerakan genit-genitan atau menggembosi calon presiden atau partai tertentu.
"Sama sekali kita tidak ada urusannya dengan itu. Apa yang kami suarakan di sini adalah murni. Kita ingin demokrasi yang substansial. Kita ingin sistem pemilihan pemilu yang betul-betul bisa partisipatif dan masyarakat sipil bisa mendorong agenda demokrasi dan HAM," kata Alghif.
Menurutnya mereka yang tergabung dalam gerakan golput saat ini masih bersifat lembaga.
"Orang-orang yang tergabung dalam gerakan golput mungkin baru lembaga tertentu yang merespon posisi hukum golput itu seperti apa dalam demokrasi dan aturan hukum di Indonesia," kata Alghif.
Sekelompok lembaga dan lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa tidak memberikan hak politik dan mengampanyekan kepada masyarakat untuk tidak memberikan hak politiknya bukan merupakan tindak pidana di kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Rabu (23/1/2019).
Mereka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil dan hadir dalam konferensi pers tersebut antara lain Arip Yogiawan (LBHI), Yati Andriani (kontras), Lini Zurlia (masyrakat sipil), Eliza (masyarakat sipil), Arif maulana (LBH Jakarta), Alghifari Aqsa (pengacara publik), Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat), dan Sustira Dirga (ICJR).