Perjuangkan Upah Layak, Jurnalis Disarankan Buat Serikat Pekerja
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meminta para jurnalis dan pekerja media untuk membentuk serikat pekerja (SP) di masing-masing tempat kerjany
Penulis: Ria anatasia
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta meminta para jurnalis dan pekerja media untuk membentuk serikat pekerja (SP) di masing-masing tempat kerjanya.
Hal itu guna mempermudah jurnalis berkomunikasi dengan perusahaannya terkait masalah ketenagakerjaan termasuk soal upah layak dan peningkatan kapasitas jurnalis.
Sekretaris AJI Jakarta Afwan Purwanto mengatakan, dari hasil survey terhadap 97 respon jurnalis muda di DKI Jakarta, masih ada 10 media yang menggaji wartawannya di bawah UMP DKI Jakarta 2019 (Rp3,94 juta). Selain itu, tak banyak dari mereka yang bergabung ataupun sekadar tahu soal SP di perusahaan mereka.
"Dalam lima tahun terakhir, forum serikat pekerja hanya ada sekitar 25 SP di media se-nasional yang aktif selama ini. Selain itu tidak ada lagi SP yang mampu perjuangkan hak karyawannya," kata dia di Jakarta, Minggu (27/1/2019).
"Ini jadi masalah besar gimana teman-teman mau perjuangkan hak ketika tidak ada jalur resmi untuk perjuangkan, gimana tanya fasilitas perusahaan," tambahnya.
Baca: Komunitas Jurnalis Buleleng: Pak Presiden, Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis
Keberadaan serikat pekerja, lanjutnya, bukan hanya untuk memperjuangkan hak-hak ketika menghadapi masalah ketenagakerjaan semata. SP juga bisa membantu proses dialog antara pekerja dengan manajemen, menyusun perjanjian kerja bersama serta meningkatkan kapasitas jurnalis dan pekerja media lainnya.
Menurut Afwan, sedikitnya jurnalis yang bergabung dengan SP diakibatkan adanya stigma negatif terhadap SP di perushaaan. Anggota SP, lanjutnya, sering dianggap membangkang dan tak disukai manajemen.
"Padahal kalau duduk bersama kita sama-sama punya kepentingan yang sama, pekerja ingin kesejahteraan, perusahaan ingin kinerja membaik. Kalau duduk bersama akan ketemu titik bagus," jelas Afwan.
"Persoalan upah layak ini harus inisiatif dari jurnalisnya juga. Jadi proaktif memperjuangkan nasib, buatlah SP di media masing-masing," tukas dia.
Di sisi lain, anggota Dewan Pers Nezar Patria memahami alasan sejumlah perusahaan media tak bisa memberikan upah sesuai standar ideal yang ditetapkan AJI sebesar Rp. 8,4 juta tahun ini.
Ia menilai, beberapa media mengalami penyusutan pendapatan seiring munculnya media sosial. Kenaikan gaji jurnalis, kata dia, tergolong lambat hanya mencapai 10-15 persen dalam lima tahun.
"Media tidak dapat profit margin besar selama lima tahun terakhir. Lebih banyak dari bisnis lainnya. Televisi dulu jadi primadona sekarang pelan-pelantergerus oleh munculnya media online dan media sosial. Perusahaan radio ditemukan angkanya sangat rendah, terdampak industri mengalami sunset juga, sehingga agak sulit gaji wartawannya dengan standar UMP," kata dia.
Meski begitu, Nezar perusahaan media tetap perlu menjamin kesejahteraan wartawannya, sehingga jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak terpengaruh suap atau amplop.
"Kita percaya di Dewan Pers bahwa lingkungan kerja baik berkorelasi dengan hasil jurnalistik yang baik juga," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.