Pengamat: Pelaku Prostitusi Online Sulit Dijerat Hukum Pidana
Pengamat hukum dari Universitas Bhayangkara, Jay Tambunan, menilai pelaku prostitusi online sulit dijerat hukum pidana.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum dari Universitas Bhayangkara, Jay Tambunan, menilai pelaku prostitusi online sulit dijerat hukum pidana. Menurut dia, terminologi prostitusi online belum dikenal dalam hukum pidana.
"Prostitusi online baru muncul belakangan ini, terutama ramai diperbincangkan setelah muncul kasus yang menjerat beberapa artis,” kata Jay Tambunan, saat dihubungi Senin (28/1/2019).
Mengacu kasus prostitusi online yang melibatkan model berinisial VA di Jawa Timur, kata dia, artis, pemesan, dan muncikari merupakan subjek hukum yang sudah berusia dewasa.
Baca: Persib Bandung Ajukan Gelora Bandung Lautan Api/GBLA jadi Venue Hadapi Persiwa Wamena
Dia menjelaskan, mereka dimungkinkan dijerat pasal 296 dan pasal 506 KUHP.
Menurut dia, pasal 296 KUHP digunakan untuk menjerat seseorang atau pengusaha yang menyediakan tempat atau menyewakan tempat kepada seseorang melakukan persetubuhan.
“Namun, pasal ini tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku persetubuhan,” kata dia.
Sedangkan, Pasal 506 KUHP ini kaitan ancaman pidananya kepada mucikari atau orang yang mencarikan pelanggan untuk artis tersebut. Selain itu, kata dia, mucikari mendapatkan keuntungan dari kegiatan itu.
“Sedangkan pelacur bertransaksi, yang membeli dan menjual, tak ada konstruksi hukum pidana yang dapat menjerat, kecuali pasal 284 tentang perzinahan. Itu kalau mereka sudah terikat perkawinan yang sah dengan suami atau istri," kata dia.
Namun, dia menilai, menjadi persoalan pada saat orang dewasa melakukan perbuatan persetubuhan ilegal atau berzinah. Tetapi, dia melihat, polisi selaku aparat penegak hukum tidak bisa serta merta menangkap mereka.
“Kecuali ada pengaduan dari orang yang paling berkepentingan, yakni istri atau suami yang sah dari orang yang melakukan perzinahan. Atau disebut delik aduan,” ujarnya.
Sehingga, dia menegaskan, pelaku perzinahan tidak bisa diproses secara hukum pidana sepanjang tidak ada pengaduan dari suami atau istri yang sah dari pelakunya.
“Belum ada konstruksi hukum pidananya. Belum ada satu pasal apapun di hukum pidana yang mengatur perbuatan dua orang dewasa yang melakukan persetubuhan,” kata dia.
Sementara itu, terkait norma moral, adat-istiadat, dan agama yang melarang perzinahan, dia menerangkan, di ilmu hukum tidak ada perbuatan dapat dilarang dilakukan sepanjang belum ada ketentuan undang-undang melarang terlebih dahulu.
Adapun, norma moral, adat-istiadat, budaya, dan agama yang berkembang di masyarakat seharusnya menjadi sumber hukum materil dalam pembentukan suatu undang-undang pidana.
"Artinya, ke depan perlu dibentuk undang-undang melalui pemerintah dan legislatif yang menjadikan norma moral, adat-istiadat, budaya, dan agama sebagai sumber hukum pidana,” tambahnya.