Peneliti Apresiasi Rencana KPU Tunda Pelantikan Caleg Yang Belum Serahkan LHKPN
Menurut peneliti ILR ini, kebijakan KPU ini searah dengan upaya menciptakan politik yang berintegritas sebagaimana amanat UU Pemilu.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtabel (ILR) Erwin Natosmal Oemar mendukung rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelantikan calon anggota legislatif terpilih yang belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Menurut peneliti ILR ini, kebijakan KPU ini searah dengan upaya menciptakan politik yang berintegritas sebagaimana amanat UU Pemilu.
"Publik perlu mendukung kebijakan progresif KPU ini," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Jumat (1/2/2019).
Memang dia menyadari, dalam konteks Indonesia belum ada bukti empiris efektivitas kebijakan ini.
Meskipun demikian, dalam konteks pemberantasan korupsi, dia menilai, kebijakan KPU ini salah satu instrumen untuk memastikan para pejabat mendapatkan kekayaan secara wajar dan legal.
"Ini salah satu instrumen untuk memastikan para pejabat mendapatkan kekayaan secara wajar dan legal," tegas Erwin Natosmal.
Baca: Ruhut Sitompul Sindir Kubu Prabowo Semua Hal Dilaporkan
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi rencana KPU untuk menunda pelantikan calon anggota legislatif terpilih yang belum menyerahkan LHKPN.
"Prinsipnya, kita semua itu stakeholder pemberantasan korupsi, apalagi KPU. Jadi, tentulah ini harus diapresiasi dengan antusias dan didukung oleh kita semua," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang melalui pesan singkat, Jumat (1/2/2019).
Menurut Saut, KPK sebenarnya tidak dalam posisi untuk mencari tahu jumlah harta kekayaan.
Namun, pelaporan tersebut adalah amanat undang-undang yang harus ditaati penyelenggara negara.
Apalagi, menurut Saut, dalam sumpah jabatan, calon anggota legislatif diminta kesediaan untuk melaksanakan kewajiban dengan baik. Salah satu kewajiban itu adalah menyerahkan LHKPN kepada KPK.
"Tidak ada sulitnya melaporkan. Ada call center KPK di nomor 198 kalau kurang jelas," kata Saut.(*)