Kuasa Hukum Menilai Ada Kejanggalan dalam Kasus Robertus Robet
Arif mengatakan, yakni kejadian di mana Robet langsung ditetapkan sebagai tersangka, padahal bukan bukan dalam situasi tertangkap tangan
Penulis: Reza Deni
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian oleh kepolisian, aktivis sekaligus dosen Robertus Robet tidak ditahan.
Robertus Robet dibebaskan pada Kamis (7/3/2019) kemarin sekira pukul 14.25 WIB.
Baca: Moeldoko Sebut Negara Tidak Ikut Campur Penetapan Tersangka Robertus Robet
Dalam hal ini, Robertus Robet diduga menghina institusi TNI dengan merubah mars ABRI saat berorasi dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Namun daripada itu, tim advokasi Robet, yakni Arif Maulana dari LBH Jakarta, melihat ada kejanggalan dalam kasus yang menimpa dosen jurusan Sosiologi UNJ tersebut.
Kejanggalan tersebut, Arif mengatakan, yakni kejadian di mana Robet langsung ditetapkan sebagai tersangka, padahal bukan bukan dalam situasi tertangkap tangan.
"Kemudian tidak jelas pasal yang mana, jangan plin plan. Jadi meskipun pasal 207, di surat penetapan tersangka yang diterima itu masih banyak pasal-pasalnya, dan sekali lagi pasal yang digunakan pasal karet dan korbannya sudah banyak," kata Arif saat ditemui di Monas, Jakarya Pusat, Jumat (8/3/2019).
Pengubahan pasal yang dimaksud Arif yakni yang awalnya dari Pasal 45 A ayat (2) Jo 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana menjadi Pasal 207 KUHP.
Adapun bunyi pasal 207 KUHP yakni 'Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'.
"Pasal-pasal itu yang jadi membungkam ekspresi. Demokrasi itu adalah sistem yamg membuka ruang kebebasan menyampaikan pendapat, dan dialektika berpendapat itu harus dilindungi," kata Arif.
Selain itu, Arif juga mengatakan bahwa ini bukan masuk ke wilayah pidana, karena Robet menyampaikan hal tersebut dalam sebuah orasi yang berbentuk kritik.
"Kan mengingatkan supaya pemimpin ke depan jangan sampai kembali ke Orde Baru, agar tidak ada lagi yang namanya Dwifungsi Abri. Itu yang dikritik," ujarnya.
Arif melihat bahwa orasi Robet memgingatkan hal-hal tersebut, karena TNI-Polri lahir pasca reformasi.
"Kita, termasuk Robet, mendorong justru agar TNI tetap bertahan seperti hari ini yang reformasinya berjalan pasca UU 34 2004 itu dipegang teguh, tetap ada jati diri TNI hari ini, yang terdidik, terlatih, tidak berpolitik praktis, dan tunduk pada ketentuan nasional yang berprinsip pada supremasi sipil, demokrasi, dan HAM," imbuhnya
Baca: Polri Bantah Penetapan Tersangka Robertus Robet Lukai Kebebasan Berekspresi
Namun, terlepas pada kejanggalan yang ada, pihaknya menghormati sepenuhnya penyelidikan kasus Robet kepada kepolisian.
"Dan karena ini bukan tindak pidana, standing kami ya semestinya dibebaskan saja ini, karena ini bentuknya ya kebebasan berpendapat," pungkas Arif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.