Dirut Krakatau Steel Akan Pelajari Aturan soal Pendampingan Hukum Bagi Wisnu Kuncoro
Dirut KS Silmy Karim mengaku tidak pernah berpikir jika ada jajarannya yang terjerat kasus dugaan suap
Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Silmy Karim akan mempelajari aturan terkait pemberian pendampingan hukum bagi Direktur Produksi dan Teknologi Krakatau Steel Wisnu Kuncoro, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu disampaikan Silmy saat konferensi pers di Kantor Krakatau Steel, Kuningan Jakarta Selatan pada Minggu (24/3/2019).
"Sesuai dengan aturan, aturannya kita ada fasilitas-fasilitas yang diberikan, tapi di situ kita tentunya tidak bisa melanggar dari apa yang sudah diatur. Karena ini apakah status tersangka itu masih bisa dilakukan pendampingan atau tidak, nanti sampai batas mana, pada intinya sesuai aturan yang ada kita support. Ada aturannya, nanti akan saya pelajari," kata Silmy.
Ia pun mengaku tidak pernah berpikir jika ada jajarannya yang terjerat kasus dugaan suap, sehingga ia tidak cukup memperhatikan mengenai mekanisme baik bantuan hukum maupun penggantian direksi yang terjerat perkara dugaan korupsi.
Baca: Kejati Jatim Pastikan Dugaan Kasus Korupsi PT DPS Senilai Rp 100 Miliar Segera Masuk Persidangan
"Gini, kalau mengenai penggantian itu kan kewenangan pemegang saham, saya lagi pelajari. Saya tidak pernah berpikir bahwa ada anggota saya melakukan hal ini, sehingga saya tidak cukup aware," kata Silmy.
Namun ia menegaskan akan mengikuti aturan yang ada baik soal penggantian posisi maupun pendampingan hukum bagi Wisnu.
"Tetapi saya akan mengikuti aturan yang berlaku. Pasti sekarang (Wisnu) sudah dinonaktifkan dari kementerian BUMN, karena yang tanda tangan untuk Direksi itu adalah ibu menteri (BUMN)," kata Silmy.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel Wisnu Kuncoro dan pihak swasta Alexander Muskitta sebagai tersangka penerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di PT Krakatau Steel (Persero) tahun 2019 pada Sabtu (24/3/2019).
Selain itu, KPK juga menetapkan dua orang pihak swasta yakni Kenneth Sutardja dan Kurniawan Eddy Tjokro alias Yudi Tjokro sebagai tersangka yang diduga sebagai pemberi.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menguraikan, pada tahun 2019 Direktorat Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel merencanakan kebutuhan pengadaan alat berat senilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar.
Alexander sebagai pihak swasta kemudian menawarkan projek tersebut kepada beberapa rekanan dan disetujui oleh Wisnu.
Alexander kemudian menyepakati commitment fee dengan rekanan yang disetujui untuk ditunjuk yakni PT GK dan PT GT senilai sepuluh persen dari nilai kontrak.
"AMU (Alexander) diduga bertindak mewakili dan mengatasnamakan WNU (Wisnu). Dia meminta uang sebesar Rp 50 juta kepada KSU (Kenneth) untuk PT GK dan Rp 100 juta kepada KET (Kurniawan) untuk PT GT," jelasnya saat konfrensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (23/3/2019)
Lebih lanjut, Saut menjelaskan pada 20 Maret 2019 Alexander diduga menerima cek Rp 50 juta dari Kurniawan.
Selanjutnya, Alexander diduga juga menerima uang 4 ribu dollar AS dan Rp 45 juta di sebuah kedai kopi di Jakarta dari Kenneth.
Pada 22 Maret 2019, uang sebesar Rp 20 juta diserahkan kepada Alexander kepada Wisnu di kedai kopi daerah Bintaro, Tangerang Selatan.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap mereka, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di PT Krakatau Steel (Persero) tahun 2019.
Dalam perkara tersebut, Wisnu dan Alexander disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Kurniawan dan Kenneth sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.