Hak Politik Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf Dicabut Selama 3 Tahun
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mencabut hak politik Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mencabut hak politik Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf.
Eks Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu dilarang dipilih sebagai pejabat publik selama tiga tahun setelah menjalani hukuman pokok.
"Pidana tambahan pencabutan hak untuk dipilih selama 3 tahun," kata Ketua Majelis Hakim Sayfuddin Zuhri dalam amar putusannya pada saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (8/4/2019).
Pencabutan hak politik merupakan pidana tambahan yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Adapun, pidana pokok berupa tujuh tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, serta subsidair tiga bulan kurungan. Irwandi dinyatakan bersalah menerima suap dan gratifikasi.
Baca: Berapa Anak Gadis Kau Rusak? Andika Mahesa Takut Karma
Namun, majelis hakim menyatakan Irwandi tidak terbukti secara sah dan bersalah dalam dakwaan ketiga dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Adapun, dakwaan ketiga yaitu Irwandi sebagai Gubernur Aceh periode 2007-2012 telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Izil Azhar menerima gratifikasi Rp 32 miliar.
Gratifikasi itu terkait dana biaya konstruksi dan operasional proyek pembangunan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Aceh.
Sementara itu, terhadap Hendri Yuzal divonis 4 tahun denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan, Teuku Saiful Bahri divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Untuk diketahui, Irwandi Yusuf diproses hukum atas perbuatan melakukan dua tindak pidana. Tindak pidana pertama, menerima suap dari Bupati Bener Meriah, Ahmadi senilai Rp 1 miliar. Uang itu untuk memperlancar program pembangunan dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.
Irwandi menerima uang secara bertahap. Pemberian pertama sebesar Rp 120 juta, lalu, Rp 430 juta, dan terakhir Rp 500 juta.
Dana digunakan untuk mengarahkan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Provinsi Aceh memberikan persetujuan terkait usulan Ahmadi agar kontraktor dari Kabupaten Bener Meriah bisa mengerjakan kegiatan pembangunan yang bersumber dari DOKA tahun anggaran 2018.
Sementara itu, tindak pidana kedua, Irwandi Yusuf disebut menerima gratifikasi Rp 41,7 miliar selama menjabat gubernur Aceh. Irwandi Yusuf menjabat gubernur periode 2007-2012 dan periode 2017-2022.
Pada periode 2007-2012, Irwandi bersama-sama orang kepercayaannya Izil Azhar didakwa menerima gratifikasi Rp 32.454.500.000. Periode 2017-2022, Irwandi didakwa menerima gratifikasi Rp 8.717.505.494. Sehingga total gratifikasi yang diterima Irwandi Rp 41,7 miliar.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut Gubernur Aceh nonaktif, Irwandi Yusuf, berupa 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, JPU pada KPK juga menuntut agar hakim mencabut hak politik Irwandi selama lima tahun.
Pada saat membacakan tuntutan, JPU pada KPK juga menuntut orang kepercayaan Irwandi, Teuku Saiful Bahri. Saiful Bahri dituntut enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, Hendi Yuzal, staf Irwandi juga dituntut selama lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.