Politik Indentitas Menguat di Pemilu, Mengapa Perolehan Suara Partai Islam Tidak Naik Signifikan?
Artinya, dalam memilih partai, mereka lebih melihat program dan rekam jejak ketimbang identitas agama.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik identitas tidak mendongkrak suara partai-partai Islam dalam Pemilu Legislatif 2019, di mana perolehan suara mereka masih berkisar 30% seperti yang terjadi pada Pemilu 2014, kata pengamat.
Walaupun suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengalami kenaikan, tetapi diperkirakan berasal dari pindahan sesama partai islam, demikian analisa peneliti dari SMRC, Djayadi Hanan.
Sentimen politik identitas Islam yang digaungkan belakangan ini, menurutnya, hanya terlihat dampaknya pada pada momen pemillihan presiden dan bukan pemilu legislatif.
"Kalau isu-isu identitas lebih pada kubu kedua capres," kata Djayadi kepada wartawan Arin Swandari untuk BBC News Indonesia, Jumat (19/04).
Baca: PKS Yakin Peroleh 10 Persen Suara di Pemilu Legislatif
Sebagai bukti, paparnya, perolehan total lima partai Islam (PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB) dalam pemilu legislatif, angkanya tak berubah dari kisaran angka 30% - sebagaimana perolehan di Pemilu 2014.
"Tidak ada peningkatan pemilih dari partai Islam, dengan kata lain migrasi kenaikan atau penurunan dari suara partai-partai Islam itu, kemungkinan terbesar adalah bermigrasi dari partai-partai itu," tambahnya.
Anggapan serupa juga diutarakan pengamat politik Islam dan peneliti SMRC, Saidiman Ahmad, yang mengatakan partai Islam juga tidak akan membesar lagi.
"Di Indonesia semakin ke sana publik kita akan semakin nasional, akan makin muncul warga yang makin kritis," katanya.
Baca: Beda dengan Prabowo, Politikus Gerindra Pius Lustrilanang Sebut Quick Count Tak Pernah Meleset
Artinya, dalam memilih partai, mereka lebih melihat program dan rekam jejak ketimbang identitas agama.
"Faktor agama nomor ke sekian, dan itu sangat kecil di survei kita, misalnya kita ada exit poll kita tanya alasan mereka dalam memilih partai, alasan agama itu nomor tujuh atau delapan," ungkap Saidiman.
Dalam sejarah Indonesia, suara tinggi partai Islam, kata Saidiman, hanya pernah terjadi pada Pemilu 1955 ketika Partai Masyumi dan Nadhlatul Ulama meraup suara besar, tetapi selepas itu mereka mengalami penurunan dan tidak pernah berkibar tinggi.
Bahkan dalam pilpres, menurut Saidiman, realitas politik identitas juga tak terlalu tinggi. "Terbukti Jokowi yang paling banyak diserang anti-Islam memenangi kontestasi versi quick count," katanya.
Pemain atau pemilih yang yang berkutat pada dasar agama akan berada terus di kisaran yang sama, dan cenderung mengecil ke depan, tambahnya.