Pengaju Pemilu Serentak Berduka Cita atas Meninggalnya Petugas KPPS, Panwaslu dan Polri
Effendi Gazali merupakan Pengaju Judicial Review Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 139 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Legislatif (Pileg) yang diselenggarakan serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Mereka adalah 91 petugas KPPS yang meninggal dunia. Selain petugas KPPS, pelaksanaan rangkaian proses Pemilu Serentak 2019 juga menelan korban dari institusi lain. Dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebanyak 33 orang dan dari kepolisian yang mengawal logistik dan mengamankan TPS sebanyak 15 anggota.
Selain itu, Masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.
Banyaknya korban petugas pemilu serentak, mengundang penyesalan mendalam bagi Effendi Gazali.
Baca: ISIS Akui Berada di Balik Serangan Teror Bom di Sri Lanka Hari Minggu Lalu
Baca: Pemilu Serentak Banyak Makan Korban, Wapres Jusuf Kalla : Apa Perlu Diteruskan Lagi?
Baca: Berbelangsungkawa Atas Gugurnya Petugas KPPS, Jokowi: Mereka Pejuang Demokrasi
Effendi Gazali merupakan Pengaju Judicial Review Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.
Di banyak kesempatan, selaku pengaju Judicial Review untuk Pemilu Serentak, Effendi Gazali sudah menyatakan menyesal mengajukan Judicial Review jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Sejak dua tahun lalu kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014, daripada Pemilu Serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan Presidential Threshold!" ujar Effendi Gazali kepada Tribunnews.com, Selasa (23/4/2019).
Karena itu Effendi Gazali turut berdukacita atas meninggalnya para petugas KPPS, Panwas, polisi dan berbagai pihak terkait Pemilu Serentak 17 April 2019.
"Tidak ada orang yang meragukan bahwa kita ikut berduka cita sedalam-dalamnya," ucap Effendi Gazali.
Sambil terus mendoakan para “pahlawan” pemilu serentak yang telah berpulang dalam melaksanakan tugasnya, dia mengajak semua pihak untuk memperbaiki sistem pemilu kita dengan jernih.
Janganlah pengorbanan para "pahlawan" pemilu serentak itu sia-sia hanya karena bangsa ini terus dipaksa dengan pilihan hanya dua pasangan, atau bahkan calon tunggal, yang bisa dipastikan lebih tajam konfliknya dengan ujaran kebencian di era media sosial ini.
"Akibatnya tidak banyak waktu kita sebagai bangsa tersisa untuk melaksanakan manajemen pemilihan umum yang lebih tenang, tertib, dan memikirkan sungguh-sungguh kesejahteraan pemilih dan pelaksana pemilu," kata Effendi Gazali.
Ia pun menjelaskan, selama JR ke Mahkamah Konstitusi (MK), dirinya dan para ahli sudah antara lain mengusulkan Pemilu Serentak terbagi dua. Satu, Pemilu Serentak Nasional, memilih presiden, DPR, dan DPD.
Dan kedua, Pemilu Daerah serentak memilih Kepala Daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota.
"Hal itu telah berkali-kali kami diskusikan dan sampaikan ke media bersama berbagai unsur Civil Society. Bahkan juga kami sampaikan kemudian saat peluncuran buku Mendagri Tjahjo Kumolo tentang “Dasar Hukum Pilkada Serentak” di Kemendagri, 1 Desember 2015," ungkapnya.
Namun, ternyata Pembentuk Undang-Undang tidak kunjung membuat kodifikasi tersebut. Berbagai masukan yang ia sampaikan lewat media maupun datang langsung ke DPR seperti terbuang percuma. Misalnya, soal definisi dan masa “kampanye”.
Hal lain yang menghabiskan banyak waktu, bahkan sampai diwarnai walk-out berbondong-bondong pada malam paripurna pengesahan UU Pemilu, adalah soal Presidential Threshold (ambang batas persyaratan mengajukan calon presiden). Apakah 0 persen, 10 persen, atau 20 persen? Akhirnya setelah diwarnai voting, UU Pemilu disahkan 21 Juli 2017, dini hari.
"Ambang batas pencalonan presiden ditetapkan 20 persen dan diambil dari pemilu legislatif 5 tahun sebelumnya. Inilah satu-satunya pemilu serentak di dunia yang memakai Presidential Threshold yang diambil dari pemilu legislatif sebelumnya!" tegasnya.
Jelas dalam aturan Presidential Threshold ini sangat kentara keinginan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak apik. Yang dibatasi adalah kompetitor tidak boleh masuk dalam kompetisi.
Dengan adanya presidential threshold, paling banyak satu pasangan kompetitor yang dapat masuk, dan itupun kalau bisa kompetitor yang paling lemah.
"Tapi mereka lupa bahwa jika hanya dua pasangan capres maka konfliknya bisa menuju 100 persen," jelasnya.
Apa akibat selanjutnya? Nasib yang tak dapat ditolak menurut dia, Pemilu Serentak 2019 datang di tengah kejamnya media sosial.
Maka sebagian besar energi bangsa habis untuk menganalisis, menengahi, atau mengajukan tuntutan di seputar hoaks.
Waktu KPU, Bawaslu, dan banyak aparat negara, serta para politisi, imbuh dia, habis digunakan untuk memberantas hoaks.
"Mulai dari 7 kontainer surat suara sudah tercoblos, server KPU yang sudah disetting sedemikian rupa di luar negeri, serta aneka ujaran kebencian dan pencemaran! Sangat sedikit kita dengar waktu, tenaga, energi yang digunakan untuk sosialisasi dan simulasi apa yang akan terjadi pada Pemilu Serentak," paparnya.
Lima tahun dan dua bulan lebih, kata dia, bukan waktu yang pendek untuk menyosialisasikan bahkan mengadakan beberapa kali simulasi, sehingga akan tahu persis bagaimana akibatnya bagi publik yang memilih, KPPS, Panwas, polisi, dan pihak-pihak terkait pada hari saat Pemilu Serentak benar-benar dilaksanakan.
"Jika kita tiba-tiba terkejut dengan apa yang terjadi, maka itu berarti sosialisasi dan simulasi kita telah gagal atau tidak memberikan gambaran yang sebenarnya," jelasnya.
Jadi, kalau berpikir secara jernih, dia menilai, harusnya hal-hal ini yang harus diperbaiki di masa depan. Jelaslah lebih baik dilaksanakan Pemilu Nasional Serentak, yakni Presiden, DPR, DPD terpisah dengan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah. DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2).
"Misal, dengan jarak 2,5 tahun atau di tengah-tengah antara dua jenis pemilu serentak ini," dia mencontohkan.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.