Setelah Tahu Pemilu 2019 Sebabkan Ratusan Orang Meninggal, Ini Reaksi Pengaju Pemilu Serentak
Setidaknya sebanyak 167 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Legislatif (Pileg)
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Lima tahun dan dua bulan lebih, kata dia, bukan waktu yang pendek untuk menyosialisasikan bahkan mengadakan beberapa kali simulasi, sehingga akan tahu persis bagaimana akibatnya bagi publik yang memilih, KPPS, Panwas, polisi, dan pihak-pihak terkait pada hari saat Pemilu Serentak benar-benar dilaksanakan.
"Jika kita tiba-tiba terkejut dengan apa yang terjadi, maka itu berarti sosialisasi dan simulasi kita telah gagal atau tidak memberikan gambaran yang sebenarnya," jelasnya.
Jadi, kalau berpikir secara jernih, dia menilai, harusnya hal-hal ini yang harus diperbaiki di masa depan. Jelaslah lebih baik dilaksanakan Pemilu Nasional Serentak, yakni Presiden, DPR, DPD terpisah dengan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah. DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2).
"Misal, dengan jarak 2,5 tahun atau di tengah-tengah antara dua jenis pemilu serentak ini," dia mencontohkan.
Evaluasi
Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan pihaknya bakal mengevaluasi sistem pemilu serentak 2019.
Hal ini dilakukan setelah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia saat menjalankan tugasnya.
Para petugas mengalami kelelahan akibat proses penghitungan dan distribusi suara yang cukup lama.
"Ya nanti kita evaluasi," ujar Arief Budiman di Kantor KPU.
Arief Budiman mengakui tugas yang dijalankan oleh petugas KPPS sangat berat.
Beban kerja yang berat, menurut Arief Budiman membuat banyak petugas KPPS kelelahan.
"Memang pekerjaannya berat, memang pekerjaannya banyak, maka ya orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas," tutur Arief Budiman.
Namun Arief Budiman mengakui sangat dilematis jika jam kerja disesuaikan seperti jam kerja normal.
Pasalnya, penyelenggaraan pemilu membutuhkan waktu kerja di luar jam kerja.