Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Effendi Ghazali Maklumi Masyarakat Menyalahkan Dirinya

Effendi Ghazali mengaku maklum apabila masyarakat banyak yang kecewa dan menyalahkan dirinya.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Effendi Ghazali Maklumi Masyarakat Menyalahkan Dirinya
Tribunnews/HERUDIN
Akademisi, Effendi Ghazali menghadiri sidang putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak namun dilaksanakan pada tahun 2019 karena waktu penyelenggaraan Pemilu 2014 yang sudah sangat dekat dan terjadwal. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Suaranya mulai meninggi ketika dirinya menjelaskan semua pertimbangan hakim konstitusi tidak masuk akal dan dinilai sudah melakukan pembohongan publik. Bahkan, tak segan dia melontarkan kata "sontoloyo" kepada hakim usai persidangan.

"Seluruh pertimbangan hakim enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sotoloyo. Cocok dengan pernyataan presiden, telah dilakukan oleh hakim MK ini kebohongan publik dan sontoloyo," kata dia dengan suara meninggi.

Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra (KOMPAS.COM/Sandro Gatra)

Matanya masih terlihat memerah, bibirnya gemetar, jemari tangannya menunjuk ke arah wartawan. Dia menegaskan menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dinilai akan terjadi pada saat pemilu serentak 2019 mendatang. Pasalnya, dirinya sudah berupaya untuk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.

"Kalau Pemilu serentak ini menjadi yang paling kacau, maka bukan salah saya Effendi Ghazali, tapi salah pembentuk undang-undang dan hakim MK," tegasnya.

Baca: Bos Ducati dan Legenda MotoGP Ini Sehati Soal Cara Taklukan Marc Marquez

Pakar Komunikasi Politik itu juga mengaku menyesal ketika dirinya sempat menjadi salah satu pemohon agar Pemilu di Indonesia menjadi serentak seperti saat ini.

"Pemilu serentak ini, dulu saya yang mengajukan. Dengan adanya presidential threshold seperti ini menyesatkan. Sebaiknya kembalikan lagi saja seperti Pemilu sebelumnya. DPR dulu kemudian presiden," tegasnya.

"Lima tahun ke depan, bangsa kita ini akan terus berkelahi, terbelah, di sana sini ada penghadangan, kebohongan, kebencian karena ada PT tadi. Sehingga calonnya hanya tinggal dua dan yang luar biasa, karena pembentuk undang-undang dan hakim MK," tukasnya.

Berita Rekomendasi

'Kematian' Demokrasi

Wasekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materiil ambang batas capres atau presidential threshold (PT) dalam UU Pemilu.

"Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi dan akal sehat," katanya saat dihubungi.

Dia menilai ke depan, hanya partai-partai besar saja yang punya peluang untuk dapatkan posisi Presiden. Sementara partai menengah apalagi partai kecil hanya akan jadi sekadar penggembira. "Partai baru lebih parah lagi, muncul sebentar selanjutnya bisa langsung hilang," lanjutnya.

Oleh karenanya kelak, partai-partai kecil, atau partai yang baru akan tersapu habis oleh sistem yang seperti ini.

"Pupus sudah harapan para pencinta demokrasi yangg agar MK bisa merevisi UU yang jelas-jelas telah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Benteng terakhir konstitusi telah runtuh," tandasnya.

Politikus dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, meyakini semua gugatan ambang batas presiden atau Presidential Treshold (PT) pasti ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas