Effendi Ghazali Maklumi Masyarakat Menyalahkan Dirinya
Effendi Ghazali mengaku maklum apabila masyarakat banyak yang kecewa dan menyalahkan dirinya.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
Keyakinannya itu didasari bahwa PT sangat penting dalam konteks sistem demokrasi Indonesia. Ia melihat sistem demokrasi Indonesia berpijak di atas sistem presidensial multipartai.
"Sistem presidensial multipartai ini sendiri sudah sangat sukar dilaksanakan. Dalam praktek di negara lain, seperti di Amerika Latin, sistem presidensial selalu berantakan karena terjadi pertarungan antara legislatif dan eksekutif," ujar Teuku, Kamis (25/10/2018).
Dalam sistem presidensial, kata dia, tidak ada way out (jalan keluar) jika terjadi stuck antara eksekutif dan legislatif. Sementara dalam sistem parlemen ada jalan keluar yaitu dengan mekanisme mosi tidak percaya.
"Alhamdulillah, ini tidak terjadi di Indonesia, karena antara legislatif dan eksekutif Indonesia ada pembagian tugas yg tidak saling menegasi," imbuhnya.
Yang kedua, dalam sistem presidensial Indonesia ia menyebut tidak adanya koalisi permanen. Jika tidak ada koalisi permanen, maka berpotensi munculnya pemerintah yang tidak stabil.
Maka untuk mengatasi persoalan absen koalisi permanen ini, Teuku mengatakan Indonesia membentuk UU yang menetapkan PT cukup besar. Alasannya, agar pemerintah terjaga stabilitasnya.
"Jadi gugatan terhadap PT 20 persen itu adalah karena tidak paham persoalan. Jadi keputusan MK sangatlah tepat. Keputusan MK itu untuk menjaga sebuah pemerintah tetap stabil dan kuat legitimasinya," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gugatan yang dimaksud, yakni, gugatan nomor 50/PUU-XVI/2018 oleh Nugroho Prasetyo, 54/PUU-XVI/2018 oleh Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel, 58/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Dandy, 61/PUU-XVI/2018 oleh Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen, serta 49/PUU-XVI/2018 oleh Muhammad Busyro Muqoddas dkk.
Baca: Kabar Terbaru Marko Simic, Kepulangan Tertunda, Sang Bomber Persija Ungkap Kerinduan
"Menolak semua dalil permohonan secara keseluruhan," jelas Ketua Hakim Konstitusi, Anwar Usman di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Dirinya menjelaskan alasan majelis menolak permohonan gugatan terkait ambang batas ini berkaitan dengan argumentasi para pemohon terkait penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu.
Padahal hal ini telah dipertimbangkan oleh Mahkamah sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan kemudian dielaborasi lebih jauh dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017.
Hakim juga menilai argumentasi para pemohon yang menyebut Pasal 222 UU Pemilu seharusnya tidak mengatur "syarat" capres karena Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya mendelegasikan "tata cara"-nya justru telah dibantah oleh putusan Mahkamah 51-52-59/PUU-VI/2008.
MK juga menilai syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebelum pemilihan umum presiden, merupakan dukungan awal, sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
"Maka dengan ini menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar.