Tangisan Hakim Tipikor Medan Merry Purba saat Jaksa KPK Menuntutnya 9 Tahun Penjara
Merry Purba, yang duduk di kursi terdakwa hanya bisa menyeka air mata begitu jaksa KPK menyatakan menuntutnya dengan hukuman 9 tahun penjara.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim adhoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Merry Purba, yang duduk di kursi terdakwa hanya bisa menyeka air mata begitu jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan menuntutnya dengan hukuman pidana penjara 9 tahun.
Hal itu terjadi dalam sidang kasus dugaan suap dengan terdakwa Merry Purba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kamis (25/4/2019).
Jaksa KPK juga menuntut Merry Purba membayar denda Rp 350 juta subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti 150.000 Dollar Singapura.
"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama," ujar jaksa Haerudin saat membacakan surat tuntutan.
Merry dinilai terbukti menerima suap 150.000 Dollar Singapura atau setara Rp 1.563.619.500 (Rp 10.424,13/SGD) dari pengusaha Tamin Sukardi selaku pihak berperkara.
Menurut jaksa, uang tersebut diterima Merry Purba melalui panitera pengganti pada Pengadilan Tipikor Medan, Helpandi.
Menurut jaksa, Helpandi seluruhnya menerima 280.000 Dollar Singapura.
Pemberian uang tersebut diduga untuk mempengaruhi putusan hakim dalam perkara korupsi yang sedang ditangani Merry Purba dan anggota majelis hakim lainnya.
Perkara tersebut yakni dugaan korupsi terkait pengalihan tanah negara atau milik PTPN II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvetia, di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Adapun, Tamin Sukardi menjadi terdakwa dalam perkara dugaan korupsi tersebut.
Menurut jaksa, pemberian uang itu dengan maksud agar majelis hakim memutus Tamin Sukardi tidak terbukti bersalah. Tamin berharapa dirinya dapat divonis bebas.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Merry Purba dapat menurunkan wibawa peradilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan lembaga peradilan.
Selain itu, Merry dianggap tidak memenuhi kewajiban hakim dengan sebaiknya dalam mengadili perkara.
Baca: Fatima Mengaktifkan Bom Bunuh Diri Saat Rumahnya Diserbu Polisi, Menewaskan Janin Serta 3 Putranya
Merry Purba juga tidak mencegah panitera menerima uang. Kemudian, Merry dianggap telah menyalahgunakan wewenang sebagai hakim.