Kisah Pengusul Pemilu Serentak: Kesedihan Effendi Ghazali Setiap Kali Ada Anggota KPPS Meninggal
Pengaju gugatan Pemilu Serentak, Effendi Ghazali merasa sangat sedih setiap kali mendengar ada petugas KPPS yang meninggal dunia.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengaju gugatan Pemilu Serentak, Effendi Ghazali mengatakan siap dipidana jika memang pihaknya yang memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi atas meninggalnya 412 orang petugas KPPS.
"Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut," jelas Effendi Ghazali saat wawancara dengan Tribun, Kamis (2/5/2019).
Saat ini menurutnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan perbaikan untuk pemilu berikutnya.
Pertama, parlementary threshold dinaikkan sampai 10 persen.
Sehingga, partai yang tersisa hanya tiga maksimal, tetapi presidential threshold harus tetap nol persen.
"Buat apa? Supaya anak bangsa yang baik dan pintar ini tetap bisa terpilih. Partai yang masuk parlemen ini akan tersingkir dengan sendirinya," jelas Effendi Ghazali.
Kedua, keserentakan pemilu ada di tataran di pencalonan. Sementara pelaksanaan pemilu tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres.
"Sehingga tidak ada lagi oligarki kekuasaan, oligarki partai yang bermain," urainya.
Berikut, kutipan wawancara khusus antara Tribun dengan Effendi Ghazali:
Tribun : Apa sebenarnya alasan anda mengajukan permohonan Pemilu Serentak?
Effendi : Pada awalnya, kami maju dengan satu tim yang sangat kuat. Ada profesor ahli juga, yaitu Saldi Isra sekarang Hakim MK, ada Irman Putera Sidin ahli hukum tata negara, ada Didik Supriyanto dari Perludem dan Hamdi Muluk dari Psikologi Politik.
Ada saksi fakta, ketua adhoc MPR dulu Slamet Effendi Yusuf.
Tujuan kami dulu, bersama-sama kami membaca kehendak asli konstitusi kita, pemilu itu memang harus serentak.
Akhirnya, kami baca-baca ketemu deh tuh pasal yang tidak pernah berubah.