Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemilu Makan Korban, Effendi Ghazali Tak Mau Jadi Pengecut Hingga Sebut DPR Ikut Bertanggung Jawab

Pengaju pemilu serentak ke MK, Effendi Ghazali blak-blakan kepada Tribun. Dia siap dipidana hingga sebut DPR juga harus bertanggung jawab

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Pemilu Makan Korban, Effendi Ghazali Tak Mau Jadi Pengecut Hingga Sebut DPR Ikut Bertanggung Jawab
Tribunnews/JEPRIMA
Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali saat wawancara khusus dengan Tribun dikediamannya di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur, Kamis (2/5/2019). Dalam kesempatan tersebut Effendi Ghazali yang juga merupakan pengaju pemilu serentak di Mahkamah Konstitusi mengajak kepada keluarga anggota KPPS yang meninggal mengajukan tuntutan dan pertanggungjawaban kepada seluruh pihak terkait. Tribunnews/Jeprima 

Tekanan apa yang didapatkan saat hari H yang berbeda dengan simulasi? Kok anda tidak bisa deteksi? Kalau dijumlah semuanya 5.693.450 orang anggota KPPS. Perlu juga kita tanyakan kepada yang sehat. Apakah mereka menjaga kesehatan yang baik, zikirnya baik, tidak terpengaruh pesan-pesan, atau apa? Ini harus jadi pelajaran ke depan.

Jadi DPR tidak harus tinggal diam ini, harus ada jalan keluar. Malah saya meminta kepada mahasiswa, aktivis, keluarga korban ayo tuntut siapa yang bertanggungjawab soal ini. Kalau saya harus ikut diseret dan diperiksa, atau ada hukumannya, saya siap. 

Tribun : Siap dipidana?

Effendi : Jangan jadi ilmuwan pengecut, jangan jadi ilmuwan curang, ayo pertanggungjawabkan. Walaupun kami, di kantor MK sudah bilang, ini pasti kacau. Refly Harun juga sudah bilang ini akan jadi pemilu terburuk. Harusnya, kalau MK dengar, MK bisa panggil kami. "Kenapa ini bisa terjadi atau kenapa menolak lagi" misalnya. Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut.

Tribun : Tuntutan keluarga anggota KPPS ke Polisi?

Effendi : Saya tidak tahu. Ke siapapun. Mereka berhak mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab. 

Tribun : Tapi, mereka melamar sebagai KPPS?

Berita Rekomendasi

Effendi : Nah itu. Tanya dulu. Kontrak dulu, asuransinya apa? Kerjanya berapa jam? Tanya dulu seperti melamar di perusahaan. Ini kan semuanya serba tidak jelas. Tidak tahu apa-apanya. KPU juga tidak boleh begitu. Meski ini sukarela, bikin juga kontrak kerjanya. Ada tidak fasilitas istirahat, makan, asuransi kalau sakit bagaimana?  

Lebih dari itu, kalau simulasinya baik, ah tapi kami tidak pernah dipanggil sih sama KPU. Panggil dong kami yang mengajukan. Jangan kami seolah dibuang dan seakan-akan oposisi dan mengakali sistem, atau bagaimana? Panggil kami, nanti kita diskusi. Itu ada ilmunya, namanya perencanaan dan evaluasi program komunikasi. Kalau simulasinya ada kelelahan atau penyakit, berarti harus ada mobil ambulance untuk setiap lima TPS misalnya, itu kan bisa sekali. Tapi kan, aduuuuuhh. Saya sakit loh dengar ada yang meninggal begitu.

Baca: Effendi Ghazali: MK Memang Tidak Bisa Membuat Undang-undang, Tapi Bisa Mencegah Bangsa Ini Terbelah

Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali saat wawancara khusus dengan Tribun dikediamannya di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur, Kamis (2/5/2019). Dalam kesempatan tersebut Effendi Ghazali yang juga merupakan pengaju pemilu serentak di Mahkamah Konstitusi mengajak kepada keluarga anggota KPPS yang meninggal mengajukan tuntutan dan pertanggungjawaban kepada seluruh pihak terkait. Tribunnews/Jeprima
Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali saat wawancara khusus dengan Tribun dikediamannya di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur, Kamis (2/5/2019). Dalam kesempatan tersebut Effendi Ghazali yang juga merupakan pengaju pemilu serentak di Mahkamah Konstitusi mengajak kepada keluarga anggota KPPS yang meninggal mengajukan tuntutan dan pertanggungjawaban kepada seluruh pihak terkait. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Tribun : Ada orang yang menyalahkan anda?

Effendi : Buya Syafii Ma'arif menyalahkan kami yang mengajukan Judicial Review, seakan-akan ada ruang hampa. Setelah Judicial Review, langsung Pemilu Serentak. Buya Syafii Maarif, guru bangsa lho menyalahkan kami. Seolah-olah tidak ada proses selanjutnya setelah putusan MK langsung masuk ke Pemilu. Seakan tidak ada proses sosialisasi, tidak ada proses pembuatan Undang-Undang yang sampai molor. Konflik presidential threshold itu lho.

Ada juga alumni Fisip UI menyalahkan kami dan bilang, jangan hanya cari ketenaran, cari duit. Itu saya paparkan kemudian. Duitnya dari mana? Kami urunan dan itu Januari 2013 dan belum ada satupun calon presiden. Pak Jokowi itu masih jadi Gubernur DKI Jakarta. 

Tribun : Presidential Threshold ini kan sudah lama?

Effendi : Kami berpikir, ada juga lho presiden sebelumnya. Ini selalu ada presidential threshold yang semakin besar. Padahal, pasalnya hanya calon presiden dan wakil presiden dipilih dari partai politik maupun gabungan partai politik. Mungkin pendiri bangsa sudah ingin tidak ada perpecahan dan kami menambahkan itu karena ada media sosial. Amerika saja sudah begitu. Jangan pernah berpikir presiden Amerika cuma dua, itu keliru. Ada calon independen dari negara bagian ada empat dan semua menderita karena media sosial.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas