YLBHI Catat 11 Kebijakan Pemerintah yang Ganggu Supremasi Hukum
Menurut dia, terdapat 11 tanda negara hukum Indonesia sedang terancam oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, meminta pemerintah menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan koridor hukum.
"(YLBHI,-red) memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terkait pada konstitusi," kata Asfinawati, dalam sesi jumpa pers di kantor YLBHI, Selasa (14/5/2019).
Menurut dia, terdapat 11 tanda negara hukum Indonesia sedang terancam oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Sebanyak 11 bentuk tersebut, yaitu pertama, diterbitkannya SK Menkopolhukam Nomor 38 Tahun 2019 tentang tim asistensi hukum.
Kedua, penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan.
Ketiga, hak tidak memilih atau golput dijerat dengan UU Terorisme, UU ITE, dan KUHP.
Keempat, rencana Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional.
Baca: Kemlu Konfirmasi ke Malaysia Soal WNI Terduga Teroris
Kelima, pemerintah memasukkan atau setuju memasukan pasal makar, penghinaan presidenn dan penodaan agama dalam RKUHP.
Keenam, perluasan penempatan militer di kementerian dan upaya memasukkannya dalam revisi UU TNI.
Ketujuh, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertananan.
Kedelapan, upaya-upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara, seperti aksi May Day, dll
Kesembilan, MoU Kementerian-Kementerian dan Badan-Badan Usaha dengan TNI. Ke-10, Permendagri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).
Ke-11, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Posisi pemerintah untuk RKUHP memasukan pasal makar dan penghinaan presiden.
"Apabila dianalisis maka 11 kebijakan tersebut memiliki beberapa pola. Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR maupun undang-undang. Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebaga ancaman," kata dia.
Atas dasar itu, YLBHI meminta, pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan rule of law dicabut dan dihentikan segera.
"(YLBHI,-red) meminta agar kebijakan-kebijakan yang melawan hukum, bertentangan dengan rule of law dan merusak demokrasi tidak lagi dikeluarkan," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.