YLBHI: Pembentukan Tim Asistensi Hukum Berpotensi Menghambat Kebebasan Berpendapat
Ketua Umum YLBHI Asfinawati, menilai tim itu memiliki karakter untuk menghambat kebebasan berpendapat.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti pembentukan Tim Asistensi Hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Ketua Umum YLBHI Asfinawati, menilai tim itu memiliki karakter untuk menghambat kebebasan berpendapat.
Padahal, kata dia, hukum di Indonesia sudah memiliki aturan yang dapat menjerat ucapan rasialis ataupun ujaran kebencian.
"Adanya suatu tim memberi makna adanya suatu pengawasan terus menerus dan berpotensi digunakan untuk kepentingan pemerintah atau yang sedang berkuasa," kata dia, dalam sesi jumpa pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2019).
Menurut dia, pembentukan Tim Asistensi Hukum itu merupakan salah satu bentuk dari 11 tanda negara hukum Indonesia sedang terancam oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Sebanyak 11 bentuk lainnya, yaitu pertama, penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan. Kedua, hak tidak memilih atau golput dijerat dengan UU Terorisme, UU ITE, dan KUHP.
Ketiga, rencana Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional. Keempat, pemerintah memasukkan atau setuju memasukan pasal makar, penghinaan presidenn dan penodaan agama dalam RKUHP.
Kelima, perluasan penempatan militer di kementerian dan upaya memasukkannya dalam revisi UU TNI. Keenam, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertananan.
Baca: Kasus Bachtiar Nasir, Dua Kali Mangkir dari Panggilan Pemeriksaan hingga Polisi Bakal Panggil Paksa
Baca: Ustaz Solmed Bangun Kafe di Rumahnya yang Senilai Rp 25 Miliar
"Ketujuh, upaya-upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara, seperti aksi May Day, dll," kata dia.
Kedelapan, MoU Kementerian-Kementerian dan Badan-Badan Usaha dengan TNI. Kesembilan, Permendagri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).
Ke-10, apabila Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Posisi pemerintah untuk RKUHP memasukan pasal makar dan penghinaan presiden.
"Apabila dianalisis maka 11 kebijakan tersebut memiliki beberapa pola. Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR maupun undang-undang. Ketiga, memiliki watak yang represif mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebaga ancaman," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.