Hendardi: Dalam Kasus 22 Mei Posisi Prabowo Bukan Solidarity Maker Tetapi Jadi Pion
Ia menyebutkan, Pertama, pseudo-yuridis, dengan memaksakan kehendak kepada Bawaslu untuk mendiskualifikasi Paslon 01.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hendardi Ketua SETARA Institute mengatakan, dari rangkaian peristiwa sebelum 21-22 Mei 2019 sampai sekarang, skenario terbesar di balik aksi-aksi para perusuh tersebut adalah memaksakan kemenangan paslon 02, melalui dua saluran utama.
Ia menyebutkan, Pertama, pseudo-yuridis, dengan memaksakan kehendak kepada Bawaslu untuk mendiskualifikasi Paslon 01.
"Itulah mengapa tekanan yang mereka berikan sebagian besar melalui Bawaslu," kata Hendardi dalam keterangan persnya, Jumart (31/5/2019).
Kedua, politik jalanan dan inkonstitusional.
Menurutnya, mereka memaksakan tindakan rusuh dengan berharap ini akan melahirkan efek domino politik seperti di Suriah.
Baca: Jasad Satimah Ditemukan di Bendung Gerak Serayu Banyumas Setelah Dilaporkan Hilang 3 Hari Lalu
Baca: Pengunjung Dilarang Merapikan Tempat Tidur saat Check Out dari Hotel
Baca: Selama Libur Lebaran Puskesmas di Jakarta Utara Buka 24 Jam
Baca: Libur Mulai 1 Juni, Pelayanan Satpas SIM Polda Metro Beroperasi Kembali 10 Juni 2019
Ada martir yang dikorbankan, harapannya memicu instabilitas politik skala besar, dan diharapkan presiden tidak bisa mengendalikan situasi.
"Aktor utamanya atau mastermind aksi 22 Mei 2019 hanya ada dua kemungkinan; pensiunan tentara dan jaringan kelompok radikal, yang pada dasarnya simpatisan dan pendukung yang menunggangi paslon 02, untuk kepentingan politik mereka masing-masing," jelasnya.
Ditambahkan, kalau preman-preman bayaran itu pion saja, hanya dipakai untuk kepentingan mereka.
Kekhawatiran akan meningkatnya ekskalasi jelang sidang Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sudah bisa dIantisipasi oleh aparat TNI dan Polri.
Bisa dilihat narasi aksi-aksi mereka tidak akan banyak berubah dari sebelum mereka memutuskan ke Mahkamah Konstitusi. Begitu juga tujuan politiknya. Kelompok-kelompok itu pun demikian.
Tapi situasinya sekarang akan berbeda. Banyak pihak sudah membedah serta menyesalkan terjadinya rusuh 21 dan aksi 22 Mei itu.
"Aksi dua hari itu dianggap gagal total, tidak rapi, dan terlalu telanjang. Kedaulatan rakyat hanya dijadikan mainan label mereka saja. Di samping itu, aparat keamanan jauh lebih siap. Dua hari itu aparat menangani dengan baik, dan ke depan pengendalian sidang di Mahkamah Konstitusi pastinya lebih baik lagi," jelasnya.
Faktor yang bisa menghentikan atau mengendalikan aksi-aksi mereka ini bisa dikatakan tidak ada. Karena mereka pada dasarnya punya agenda masing-masing. Prabowo Subianto juga tidak.
Hendardi menegaskan, di tengah-tengah kelompok itu, Prabowo bukan solidarity maker. Dia figur elite yang juga sesungguhnya 'dipionkan' sebagai simbol oleh mereka, bahwa ini seakan-akan kontestasi elektoral dalam kerangka demokrasi.