Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jika Mangkir saat Dipanggil KPK, Sjamsul Nursalim dan Istri Akan Dijadikan 'DPO'

Untuk mengupayakan Sjamsul dan Itjih datang ke Indonesia untuk dapat diperiksa, KPK telah melayangkan surat panggilan

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
zoom-in Jika Mangkir saat Dipanggil KPK, Sjamsul Nursalim dan Istri Akan Dijadikan 'DPO'
Forbes
Sjamsul Nursalim 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum pasangan suami-istri tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim agar dapat menghadiri pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.

Sekadar informasi, kini Sjamsul dan Itjih sedang berada Singapura.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah, mengatakan jika keduanya tak memiliki itikad baik untuk datang diperiksa, maka KPK akan menetapkan status Sjamsul dan Itjih bakal dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (29/4/2019).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantor KPK, Jakarta Selatan. (Tribunnews.com/ Dennis Destryawan)

"Ketika seseorang dipanggil datang tapi dia tidak bisa, dikategorikan misalnya sebagai DPO, atau red notice, atau yang lain-lainnya," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2019).

Untuk mengupayakan Sjamsul dan Itjih datang ke Indonesia untuk dapat diperiksa, KPK telah melayangkan surat panggilan.

"Beberapa hari sebelumnya dilayangkan surat pemanggilan tersebut," kata Febri.

KPK, ujar Febri, sampai saat ini masih menunggu itikad baik dari keduanya. Menurutnya, Sjamsul dan Itjih seharusnya mau datang ke KPK. Karena KPK akan memberikan ruang bagi Sjamsul dan Itjih untuk memberikan sangkalan dalam perkara ini.

Berita Rekomendasi

"Justru ada ruang bagi tersangka untuk memberikan keterangan bantahan atau sangkalan terhadap pokok perkara ini. Kalau tidak datang berarti ruang yang sudah disediakan secara hukum tersebut justru tidak digunakan," jelas Febri.

Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

Kasus ini bermula saat BDNI mendapat bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode 1999-2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun BPPN menduga BDNI menyalahgunakan dana bantuan itu dan menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum.

Sementara Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002 malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menuntaskan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dijamin Sjamsul Nursalim dalam PKPS.

Namun setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.

Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.

Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.

Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Konstruksi Kasus BLBI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus ini.

Sjamsul dan Itjih dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK sendiri sudah memanggil Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali pada 2018 silam. Namun pasangan suami istri tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.

Sjamsul Nursalim
Sjamsul Nursalim (ISTIMEWA)

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan sebagai pemenuhan hak tersangka, pada 17 Mei 2019 lembaganya telah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan tersangka Sjamsul dan Itjih ke sejumlah lokasi.

Setidaknya ada tiga lokasi di Singapura dan satu lokasi di Indonesia yaitu, The Oxley, Singapore; Cluny Road, Singapore; Head Office of Giti Tire Pte.Ltd Singapore; dan rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

"Dikarenakan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim) diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).

Laode sendiri memaparkan perkara ini berawal pada 21 September 1998 silam. Saat itu, BPPN dan Sjamsul melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).

Dalam MSAA tersebut, kata Laode, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan SJN sebagai pemegang saham pengendali serta sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.

"Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNl adalah sebesar Rp 47.258.000.000.000 Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18.850.000.000.000 termasuk di antaranya: pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun," kata Laode.

Laode menyebutkan aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

Atas hasil FDD dan LDD tersebut, lanjut Laode, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta yang bersangkutan menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun Sjamsul menolak.

"Pada bulan Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang penambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan Pihak Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih serta pihak lain pada rapat tersebut Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi," katanya.

Laode menyebutkan pada Februari 2004, dilakukan rapat kabiner terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (penghapusbukuan).

Hanya saja hal itu dilakukan dengan tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsil. Ratas tersebut tidak memberika keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan namun pada, pada 12 April 2004, Syafrudin Arsyas Temenggung dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.

"Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat No.SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul," kata Laode.

Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung bergegas usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018). Majelis hakim memvonis mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung bergegas usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018). Majelis hakim memvonis mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Hal ini, ucap Laode mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang. Selanjutnya, tutur Laode, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih hutang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).

"Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp 220.000.000.000,- padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun, Sehingga, diduga kerugian Keuangan Negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 Triliun," paparnya.

Sjafrudin sendiri telah divonis dan diganjar hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.

Baca: Taman Belangi, Objek Wisata Baru Warga Bireuen

Baca: Konawe Diterjang Banjir, Ribuan Warga Mengungsi

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas